Prof. Edy juga mengomentari target pertumbuhan ekonomi Jokowi sebesar 6,0%-6,2% (RPJMN 2020-2024) yang belum terealisasi. “Inflasi memang fluktuatif, namun dalam 10 tahun terakhir relatif stabil kecuali pada 2022 akibat kenaikan harga komoditas global dan 2020 akibat lemahnya daya beli masyarakat,” jelas mantan Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) ini. Namun, beliau menambahkan bahwa rupiah terus mengalami depresiasi dan menembus Rp.16.000 pada April 2024, menunjukkan bahwa kebijakan moneter longgar dalam beberapa periode terakhir belum mampu mendongkrak posisi Rupiah.
Menjelang akhir masa jabatannya, target tingkat kemiskinan Jokowi sebesar 6,5%-7,5% (RPJMN 2020-2024) juga sulit tercapai. Meskipun Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mengalami pertumbuhan dalam kurun 9 tahun, investasi asing dominan mengarah ke sektor sekunder sementara investasi domestik di sektor primer mengalami kenaikan signifikan.
Prof. Edy juga mengkritisi peningkatan utang yang signifikan dibandingkan dua presiden sebelumnya serta pelemahan lembaga anti korupsi. “Kebijakan yang diambil tidak berpihak pada pemberantasan korupsi, ini adalah sebuah kemunduran,” tegasnya. Beliau menambahkan bahwa meskipun banyak proyek strategis yang dikerjakan selama kepemimpinan Presiden Jokowi, beberapa target seperti tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, utang, dan korupsi masih belum tercapai.
“Pembangunan yang terus dilakukan nyatanya masih belum memberikan dampak yang signifikan bagi Indonesia. Banyak pekerjaan rumah bagi pasangan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Prabowo-Gibran yang harus dikerjakan agar target ‘Indonesia Emas 2045’ tidak hanya menjadi slogan yang terus digaungkan,” tutupnya.
Komentar