JurnalPatroliNews – Jakarta – Revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang baru saja disahkan DPR mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Regulasi ini dinilai memiliki kekurangan baik secara formil maupun materiil, serta berpotensi membuka celah penyalahgunaan kewenangan.
Salah satu pasal yang menjadi perdebatan adalah ketentuan yang menyatakan bahwa kerugian BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai kerugian negara, serta tidak masuk dalam ruang lingkup audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menilai aturan ini berpotensi disalahgunakan dan berisiko melemahkan transparansi serta akuntabilitas pengelolaan perusahaan negara.
“Ketentuan bahwa kerugian BUMN tidak diperiksa BPK dan tidak dikategorikan sebagai kerugian negara dalam revisi UU ini sangat rentan dimanfaatkan untuk tindakan negatif,” ungkap Defiyan, Senin (17/2/2025).
Ia menambahkan bahwa definisi “tidak merugikan keuangan negara” harus diperjelas agar tidak menimbulkan interpretasi yang membingungkan. Menurutnya, konsep kerugian negara meliputi aspek material dan non-material, sehingga tidak dapat diabaikan hanya dengan dalih business judgment rule.
“Jangan sampai alasan business judgment rule digunakan sebagai tameng untuk menghindari pertanggungjawaban atas kerugian keuangan negara,” lanjutnya.
Atas dasar itu, Defiyan menyarankan Presiden Prabowo Subianto untuk menunda pengesahan revisi UU No. 19 Tahun 2003 melalui Lembaran Negara. Ia juga menilai bahwa revisi ini berpotensi bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, khususnya dalam pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.
“Jika revisi ini tetap disahkan, Presiden Prabowo bisa dianggap melanggar Pasal 33 UUD 1945 karena BPI Danantara berfungsi mengelola aset tujuh BUMN, yang secara konsep serupa dengan Danareksa,” tambahnya.
Komentar