Pertamina Dikorupsi Terus, Bensin Dioplos, Segeralah Kita Beralih ke Kendaraan Listrik. Bagaimana?

Oleh: Andre Vincent Wenas

Mulai dari perbincangan politik dulu. Menarik pernyataan Adi Prayitno yang mengatakan Jokowi itu triple-minority, berbanding terbalik dengan Prabowo yang justru triple-majority. Maksudnya?

Pertama, Jokowi bukan ketua umum parpol malah cuma diposisikan sebagai petugas partai oleh parpolnya sendiri, jelas beda dengan Prabowo yang ketum parpol. Kedua, waktu awal jadi presiden pergaulan politik Jokowi lebih terbatas, beda dengan Prabowo yang sudah malang melintang di pergaulan politik nasional (bahkan internasional) sejak lama.

Dan yang juga penting adalah yang ketiga ini, dukungan parlemen untuk Jokowi pada awalnya relatif lebih lemah, beda dengan Prabowo yang didukung Koalisi Indonesia Maju versus PDIP – yang karena arogansinya – akhirnya ditinggal sendirian. Begitulah konsep ‘triple minority’ dan ‘triple-majority’ yang dimaksud di atas.

Dan semua pengamat politik sudah tahu sama tahu siapa arsitek atau dirigen di belakang layar yang mengorkestrasi koalisi besar ini. Koalisi besar adalah ‘conditio sine qua non’ dalam real-politics di Indonesia kalau ingin menjamin stabilitas politik sebagai fundamental pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Periode kedua Jokowi membuktikan itu, dan sekarang dilanjutkan oleh Prabowo-Gibran.

Pandangan jernih juga memperlihatkan bahwa skenario keberlanjutan ini akan berlangsung paling tidak selama 20 tahun ke depan, sampai tahun 2045. Sepuluh tahun pertama bersama Prabowo dan sepuluh tahun kedua giliran Gibran. Setelah itu bagaimana? Itu akan bersama-sama kita wacanakan selama kepemimpinan Prabowo dan Gibran berlangsung. Waktunya masih cukup panjang.

Dari perspektif keberlanjutan pembangunan dan pertimbangan stabilitas politik jelas sekali bahwa Jokowi dan Prabowo adalah semacam dwi-tunggal yang tak terpisahkan.

Realitas kependudukan Indonesia yang punya 282 juta jiwa di awal tahun 2025 akan menjadi 324 juta jiwa di tahun 2045 dimana 70 persennya akan ada dalam kategori produktif. Maka logis kalau dari dari sekarang pemerintah berusaha mati-matian untuk mengkondisikan kesehatan dan gizi mereka prima.

Perlu dana besar untuk itu. Benar sekali, makanya anggaran negara mesti dihemat dan diarahkan untuk menjemput generasi emas Indonesia. Program efisensi dan pemberantasan korupsi jadi imperatif.

Program efisiensi sedang berjalan. Terobosan-terobosan ekonomi sedang diupayakan, salah satunya lewat pelipatgandaan kapital Danantara. Dan strategi “membakar semak agar ular beludaknya keluar” untuk memberantas korupsi sedang dikerjakan lewat instrument kejaksaan, KPK dan kepolisian. Yang sedang ramai adalah skandal di Pertamina.

Pertamina punya pekerjaan besar, di hulu dan di hilir. Di hulu untuk explorasi sumber-sumber minyak dan di hilir untuk membangun kilang minyak (oil refinery) kemudian menditribusikannya ke seluruh wilayah Indonesia dengan harga yang seragam.

Berdasarkan data SKK Migas pada Februari 2024, cadangan minyak Indonesia sebesar 4,7 miliar barel, ini artinya 0,2 persen dari cadangan minyak dunia. Kebanyakan cadangan minyak itu tersimpan di bumi Sumatera (Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan dan Jambi).

Diproyeksikan dengan asumsi recovery sekitar 40-50 persen, maka cadangan minyak akan habis dalam waktu 12 tahun ke depan. Dan oleh BPS diperkirakan stok minyak bumi Indonesia hanya bisa diekstraksi 18 tahun lagi. Tidak lama lagi.

Perlu kita sadari bahwa minyak bumi, gas bumi, dan batu bara adalah sumber daya energi yang tak terbarukan. Artinya bisa dan pasti akan habis jika digunakan terus-menerus. Ingat, pertumbuhan penduduk juga membawa konsekuesi peningkatan aktivitas ekonomi. Itu semua demi pertumbuhan sektor industri, transportasi, dan sektor ekonomi lainnya.

Pertumbuhan sektor ekonomi pasti meningkatkan kebutuhan akan BBM setiap tahunnya. Sedangkan untuk ekplorasi dalam rangka menemukan titik cadangan minyak dan gas baru pada saat ini membutuhkan biaya yang sangat besar.

Kebutuhan minyak kita adalah 1,6 juta barrel per hari, sedangkan kemampuan lifting kita (mengangkat minyak mentah dari perut bumi) hanya 600 ribu barrel per hari. Jadi masih kurang sejuta barrel.

Perhitungan kasar (dengan satuan barrel) agar lebih mudah. Sekarang minyak mentah (crude oil) itu harus diproses di kilang. Kapasitas kilang (refinery) kita hanya 1,1 juta barel per hari, dipasok dari hasil lifting kita sendiri cuma sekitar 600 ribu barrel, jadi kekurangan pasokan minyak mentah untuk kilang dalam negeri sekitar 500 ribu barrel per hari.

Konsekuensinya Indonesia mesti mengimpor minyak mentah sekitar 500 ribu barrel plus 500 ribu barrel bensin per hari. Total sejuta barrel per hari yang mesti kita mesti impor. Minyak jutaan barrel itu tidak bisa dikirim pakai jasa titipan (jastip) atau JNE dan FedEx. Tapi mesti pakai kapal tanker yang kapasitasnya besar supaya efisien.