Wacana Soeharto Jadi Pahlawan Dikecam Aktivis 98: Apakah Nurani Bangsa Sudah Tumpul?


JurnalPatroliNews – Jakarta – Wacana penobatan Soeharto sebagai pahlawan nasional kembali menuai penolakan keras, kali ini dari para Aktivis Reformasi 1998. Dalam forum refleksi 27 tahun Reformasi yang digelar Sabtu, 24 Mei 2025, di Grand Syahid, Jakarta, penolakan tersebut ditegaskan sebagai bentuk kesetiaan terhadap nilai-nilai perjuangan melawan rezim otoriter.

Salah satu tokoh gerakan reformasi, Mustar Bonaventura, menyuarakan penolakannya dalam diskusi bertajuk “Refleksi 27 Tahun Reformasi: Soeharto Pahlawan atau Pelanggar HAM?” Ia mengawali pernyataannya dengan rasa syukur melihat banyaknya peserta yang hadir, meski sempat pesimistis soal keberanian publik membahas figur kontroversial tersebut.

“Saya sempat bertanya dalam hati, masih adakah yang mau hadir dan bicara tentang Soeharto secara kritis? Tapi hari ini saya terkejut, semangat itu ternyata masih menyala,” ujar Mustar.

Namun, ia menegaskan bahwa rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto adalah sesuatu yang mencederai nurani sejarah bangsa. Dalam pandangannya, masa kekuasaan Soeharto selama tiga dekade penuh dengan luka dan pelanggaran hak asasi manusia yang belum selesai dipulihkan.

“Apakah bangsa ini sudah sedemikian jauh kehilangan hati nurani? Sampai-sampai gelar yang seharusnya diberikan kepada tokoh-tokoh teladan justru ingin disematkan kepada figur yang meninggalkan luka kolektif? Tidak ada satupun alasan yang bisa membenarkan langkah itu,” tegas Mustar.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa penolakan ini bukan sekadar bentuk nostalgia masa lalu, melainkan tanggung jawab moral terhadap korban-korban ketidakadilan selama rezim Orde Baru.

“Ini bukan tentang masa lalu atau dendam, tapi tentang penghormatan kepada mereka yang menjadi korban. Kita punya kewajiban menjaga ingatan itu tetap hidup,” tuturnya.

Diskusi tersebut dihadiri pula oleh sejumlah tokoh penting dari barisan Aktivis 98, seperti Ray Rangkuti, Ubedillah Badrun, Abraham Samad, Bela Ulung Hapsara, Anis Hidayah, Jimly Fajar, dan Hengki Kurniawan. Mereka sepakat bahwa peninjauan sejarah harus tetap jujur dan berpihak kepada korban, bukan justru mengaburkan fakta demi kepentingan politik sesaat.

Komentar