Ghosting….!, Felicia Tissue Silakan Baca Ini Sebelum Mention Kaesang Lagi

JurnalPatroliNews – Jakarta,– Seperti yang dialami Felicia Tissue, ditinggal pasangan pas lagi sayang-sayangnya tentu bikin baper sangat. Tapi apakah kita harus mencari tahu mati-matian tentang penyebab pasangan, calon suami/ istri, maupun tunangan kita melakukan ghosting?.

Diketahui sebelumnya dirangkum dari sumber, Mantan kekasih Kaesang Pangarep, Felicia Tissue, akhirnya buka suara soal hubungan asmaranya dengan putra bungsu Presiden Joko Widodo itu.

Lewat kanal YouTube-nya, Felicia menceritakan hubungan yang akhirnya kandas setelah terjalin selama lima tahun dengan Kaesang.

Felicia menyebut Kaesang tiba-tiba menghilang dan menjauhinya atau dikenal dengan istilah ghosting.

Mungkin insight yang diberikan Konsultan Cinta Lex dePraxis ini bisa menjadi pertimbangan. Ada kalanya tidak perlu mengajukan pertanyaan jika tidak siap dengan jawabannya. Tidak usah mencari tahu jika kita tidak siap dengan faktanya.

“Kita sulit mengambil kata terbaik, karena konteks ghosting berbeda-beda ya. Tapi kita ambil yang umum aja, pada saat seseorang menghilang dari hubungan yang sudah dijanjikan serius, misalnya. Pacaran, tunangan, atau apa, orang yang ditinggalkan pasti mengalami kebingungan. Pasti kaget, mengalami guncangan, “apa salah gue? kenapa tiba-tiba begini?”. Jadi pada titik terguncang dan jenuh itu, respon wajarnya memang mencari tahu. Respon wajarnya ya. Jadi kita mencari tahu sama orang yang bersangkutan, mencari tahu sama teman-temannya dia, keluarganya, atau sama siapapun yang kiranya bisa membantu. Jadi itu respon yang amat sangat wajar.”

“Namun kewajaran itu perlu disadari apa efeknya, apakah perlu dikejar terus? Nah di sinilah sebuah pertanyaan besar. Apakah mengejar terus itu hasilnya akan menyenangkan atau tidak? sulit untuk ditebak. Tapi biasanya sih kalo kita putus cinta atau dicerai. Jawaban-jawaban biasanya tuh nggak enak ya, “Dari dulu aku nggak suka sama kamu”. Misal, ada orang yang cerai gitu kan, “Sebenarnya menikah sama kamu saya dipaksa sama orang tua”. Ada tuh saya pernah ketemu sama couple yang begitu. Jadi mereka sudah 15 tahun menikah, lalu saat perceraian, diudek-udek jadi kenapa sebenarnya kita pisah? Kenapa kamu menyerah? Keluarlah kalimat,

“Ya terlepas dari konflik dan segala macam, ya sebenarnya aku emang dari awal nggak yakin sama kamu sih, ini didorong aja sama keluarga, udah umur berapa”. Nah, kalimat itu fakta itu atau informasi itu kan nggak enak didengarnya.”

“Sebenarnya kalau sudah cerai atau sudah putus, kita bisa sekadar dapat informasi kita tidak cocok. Ada sesuatu yang tidak kompatibel di antara kita. Nggak perlu digali lagi kadang-kadang. Tapi emang lebih baik tidak digali? Boleh, cuma kadang-kadang kalo digali gali gali gali, kita berharap menemukan sebuah informasi yang kita pikir kalo kita tau semuanya, kita bisa paham. Sering kali kita pikir gitu. Makanya orang kalo habis diputus pengen ketemuan dan nanya semuanya sampai puas.”

“Saya pun gitu, kalau diputusin yang mendadak atau saya tau saya bakal diputusin pun saya akan kejar. Karena otak saya itu akan kecanduan dan saya ingin tau, kalau saja saya tau segalanya saya akan tenang. Itu selalu pikirannya begitu. Namun kalo dijawab A, dijawab B, diklarifikasi C, dijelaskan D. Kadang-kadang itu malah membebani dan membuat kita bertanya-tanya dan semakin sakit. Itu sebabnya balik ke pertanyaan tadi, apakah kalo dighosting itu boleh bertanya sama orang yang bersangkutan? Mencari tahu ke keluarga dan segala macem.”

“Jawabannya ya wajar, boleh, silakan. Namun kita perlu mindful, di titik mana pengejaran itu atau pencarian itu membuat beban baru buat kita. Informasi-informasinya malah membuat kita sulit untuk sehat lagi, untuk healthy lagi. Itu yang perlu menjadi pertimbangan orang-orang yang diputus. Mau konteksnya ghosting, mau konteksnya cerai, gitu ya, atau dia tiba-tiba menikah sama orang lain, perlu dicari tahu, tapi kalo nggak dapat kita perlu berpikir. Apa yang aku lalukan agar aku sejahtera? Apa yang aku lakukan agar aku lebih sehat lagi?”

Lex menjelaskan pendapatnya ini tidak berlaku universal dan mutlak, semua tergantung kepribadiannya masing-masing. Ada juga yang tetap mencari tahu faktanya dan bisa menutup cerita cintanya dengan tenang.

“Nah makanya tadi saya bilang dicek keperibadiannya masing-masing. Seandainya saya mendapatkan informasi yang nggak enak banget, can I live with it? Can i be peaceful with it? Itu yang perlu dicek dulu, gitu loh. Sebelum kita mencari tahu informasi yang gimana-gimana, misalnya kalo seseorang selingkuh dari kita, sudah menikah lalu selingkuh, kadang-kadang kita sebagai orang yang diselingkuhin kan pengen tahu, sejak kapan? Apa yang dilakukan? Sejauh mana? Kenapa kamu selingkuh? Ada 1.001 pertanyaan yang pengen kita tanya ketika suami atau istri berselingkuh. Memang pertanyaan-pertanyaan itu layak untuk dipertanyakan.”

“However, kita mesti tahu konsekuensinya apa kalo kita tahu semuanya. Karena untuk healing, atau untuk penyembuhan diri, nggak perlu tahu 100 persen atau 3.000 persen. Kita cukup tahu yang penting, yang krusial, lalu fokus pada merawat diri. Bukan mendetektif-detektifkan. Ini bukan konteks ghosting aja ya, apapun yang tidak mengenakkan dalam hubungan mau itu pacaran atau pernikahan.”

(*/lk)

Komentar