Bisnis Peternakan Lalat di Afsel Yang Menjadikan Belatung Sebagai Makanan Hewan dan Mungkin Manusia

JurnalPatroliNews – “Ada kelangkaan makanan, kemudian ada banyak orang kelaparan, dan pada saat yang sama ada masalah limbah. Jadi saya mulai melihat bagaimana kita bisa menyeimbangkannya kembali,” kata pendiri peternakan Dean Smorenberg tentang hal-hal yang mengilhaminya untuk terjun ke bidang ini.

Smorenberg adalah mantan konsultan manajemen yang mulai beternak lalat tentara hitam atau black soldier fly di kamar mandinya pada tahun 2016 sebelum menjalani bisnis itu secara penuh waktu.

Model ini menarik bagi para konsumen yang sadar karbon: larva lalat memakan limbah makanan – dalam kasus Smorenberg, biji-bijian sisa dari tempat pembuatan bir terdekat – mengubahnya menjadi protein yang dapat dijual, dan menghasilkan produk sampingan berupa pupuk.

Proses ini membutuhkan air dan tanah yang jauh lebih sedikit daripada jenis produksi protein lainnya dan juga menghasilkan jauh lebih sedikit emisi karbon.

Studi tahun 2020 oleh para peneliti di Inggris dan Jerman menemukan bahwa pasar makanan hewan piaraan global melepaskan karbon dioksida ke atmosfer sebanyak total emisi negara Filipina atau Mozambik.

Alih-alih secara langsung menantang industri kedelai atau pakan ikan global, yang saat ini menyediakan sebagian besar protein murah di dunia, Maltento bertujuan menawarkan produk yang melengkapi rasa atau nilai gizi makanan hewan piaraan.

“Serangga punya nilai lebih dari sekadar sumber protein,” kata Smorenberg, sembari menerangkan bahwa zat yang disebut sebagai peptida antimikroba pada larva lalat dapat membantu meningkatkan kesehatan usus.

“Dan tidak ada tanaman di dunia yang bisa memberi Anda 52 kali panen dalam setahun dari satu petak.”

Peternakan Maltento, yang berkembang pesat, dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan tahapan siklus hidup serangga.

Pupa mengalami metamorfosis di ruangan gelap di lantai dasar sebelum dipindahkan ke tempat penangkaran di lantai atas, tempat lalat dewasa bertelur di bawah lampu ultraviolet di dalam kandang jala.

“Ini pada dasarnya adalah ruang mesin peternakan, boleh dibilang begitu,” kata Dominic Malan, seorang pegawai peternakan. “Suhu dan kelembaban adalah faktor paling penting untuk memastikan mereka berkembang.”

Di sebelahnya, ruang penetasan, telur-telur menetas menjadi “neonatus” atau bayi larva yang didistribusikan ke dalam wadah plastik kecil yang penuh dengan pakan. Plastik-plastik ini kemudian ditumpuk di dalam ruangan yang suhunya dikontrol, tempat mereka tumbuh dengan kecepatan yang luar biasa.

“Kami memasukkan 0,5g dari larva-larva ini,” kata Malan. “Dan setelah enam hari mereka tumbuh [secara kolektif] menjadi 4kg. Mereka adalah tukang makan yang rakus.”

Setelah bayi larva tumbuh menjadi larva dewasa, seluruh isi wadah plastik dimasukkan ke dalam mesin yang memisahkan mereka dari “frass” – kotoran lalat – yang akan dijual sebagai pupuk organik. Malan mengatakan ada minat yang cukup besar untuk produk sampingan ini dari sektor ganja farmasi.

Dari tahap ini larva lalat, yang juga sering disebut belatung, dapat diolah menjadi berbagai produk.

Sebagian besar dikeringkan dan diekspor secara utuh untuk menjadi pakan ayam piaraan di AS. Sebagian dicincang menjadi bubuk yang kemudian digunakan oleh sebuah perusahaan Norwegia untuk membuat makanan anjing. Sebagian lagi dipres untuk menghasilkan minyak, atau dihidrolisis menjadi pakan cair.

Di sudut ruangan, terletak deretan karung putih raksasa yang penuh dengan larva kering.

Bagi manusia, serangga terasa seperti tanah, dengan rasa malt halus yang berasal dari biji-bijian sisa yang menjadi makanan mereka. Bagi kucing dan anjing, kata Malan, serangga adalah makanan sedap.

Menurut RaboResearch, sebuah organisasi penelitian agribisnis Belanda, produksi global protein serangga untuk makanan hewan piaraan dapat mencapai setengah juta ton pada akhir dekade ini, naik dari hampir 10.000 ton saat ini. Dan industri ini berkembang dengan pesat.

Di sebuah laboratorium di daerah Woodstock, dengan pemandangan Table Mountain, para ilmuwan peternakan Maltento terus berusaha untuk meningkatkan rasa dan manfaat kesehatan dari produk larva.

Dua hal itu tergantung pada pakan larva, kondisi tempat mereka tumbuh, dan juga cara pemrosesan produk akhirnya.

Woman pouring mixture into a bottle

SUMBER GAMBAR,TOMMY TRENCHARD

“Mereka sebenarnya sangat serbaguna,” kata Dr Leah Bessa, seorang ilmuwan makanan yang mendapatkan gelar PhD-nya dengan meneliti cara memanfaatkan larva lalat sebagai pengganti daging untuk konsumsi manusia.

“Masih banyak fungsi yang belum ditemukan.”

Produk terbaru yang sedang digarap Dr. Bessa adalah suatu bahan yang dirancang untuk ditambahkan ke makanan hewan piaraan untuk meningkatkan rasa dan manfaat gizinya.

Sebelum bergabung dengan Maltento, Dr. Bessa menjadi berita utama di Afrika Selatan setelah meluncurkan sebuah perusahaan yang menjual es krim berbasis serangga.

Dalam sebuah laporan tahun 2013, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mengatakan serangga dapat membantu mengatasi masalah kelangkaan pangan di seluruh dunia. Tetapi meskipun serangga sudah menjadi kudapan yang populer di banyak negara, banyak negara Barat masih menolaknya.

Untuk saat ini, Dr Bessa percaya konsumsi serangga skala besar kemungkinan besar masih akan terbatas pada hewan peliharaan.

“Kita belum sampai ke sana,” ujarnya, menambahkan bahwa rasa jijik masih menjadi hambatan. “Anjing jauh masih lebih mudah untuk diberi makanan serangga daripada manusia.”

Komentar