Ekonomi RI Kuartal I-2025 Melambat, Pemerintah Diingatkan Percepat Belanja dan Revisi Strategi

JurnalPatroliNews – Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) resmi mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal pertama 2025. Sayangnya, kinerja ekonomi nasional mengalami perlambatan, hanya mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,87%, menurun dari 5,02% pada kuartal IV-2024 dan 5,11% pada periode yang sama tahun lalu.

Padahal, kuartal pertama tahun ini turut mencakup momentum Ramadan dan Idul Fitri yang biasanya menjadi penggerak konsumsi domestik. Namun, efek positif musiman itu tampaknya tak cukup untuk menahan laju perlambatan ekonomi.

Menurut Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), penurunan ini dipicu oleh kontraksi belanja pemerintah. Ia menegaskan, Presiden Prabowo Subianto telah menyadari kondisi ini dan berkomitmen mempercepat realisasi anggaran negara sebagai langkah korektif.

“Presiden sudah menginstruksikan percepatan belanja untuk mendorong kembali ekonomi,” ujar Luhut melalui unggahan video di akun Instagram pribadinya, Rabu (7/5/2025).

Selain belanja pemerintah, Luhut menyoroti faktor lain seperti melemahnya konsumsi rumah tangga, investasi yang stagnan, serta tekanan ekspor akibat kondisi global yang kurang bersahabat. Ia mengingatkan pentingnya mengatasi ketimpangan pembangunan antarwilayah.

Sejalan dengan Luhut, anggota DEN Prof. Arief Anshory Yusuf menyatakan bahwa langkah efisiensi anggaran yang diambil pemerintah sejak awal 2025, lewat Perpres No.1, justru memberi dampak kontraproduktif karena menurunkan belanja negara di tengah pelemahan daya beli masyarakat.

“DEN sejak awal sudah memberi peringatan bahwa efisiensi ini berisiko menekan konsumsi pemerintah,” ungkap Arief.

Dalam laporan BPS, konsumsi pemerintah tercatat menyusut 1,38%, menjadikannya satu-satunya komponen Produk Domestik Bruto (PDB) yang tumbuh negatif. Sementara, konsumsi rumah tangga naik tipis 4,89%, investasi tumbuh 2,12%, dan ekspor naik 6,78%.

Meski kontribusi konsumsi pemerintah ke PDB hanya 5,88%, Arief menilai momennya tidak tepat karena daya beli masyarakat sedang melemah—terlihat dari tren konsumsi rumah tangga yang tak mampu kembali menyentuh angka 5% sejak kuartal III-2023.

Lembaga riset Indef menilai gejala pelemahan ekonomi sudah sangat jelas terlihat. Mereka menyebut setidaknya ada delapan indikator peringatan yang menunjukkan tekanan terhadap ekonomi domestik:

  1. Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah tanpa industrialisasi kuat membuat Indonesia rentan pada dinamika eksternal.
  2. Harga komoditas yang fluktuatif menciptakan guncangan ganda: pendapatan negara bisa naik, tapi margin industri bisa tergerus.
  3. Stagnasi ekonomi tercermin dari pertumbuhan 4,87% yang menandakan lemahnya transformasi struktural.
  4. Investasi lesu dan konsumsi melambat, dua mesin utama pertumbuhan mulai kehilangan daya dorong.
  5. Hilirisasi industri belum maksimal, khususnya di sektor manufaktur dan pertambangan.
  6. Suku bunga tinggi mengalihkan likuiditas ke aset berimbal hasil, bukan ke sektor riil.
  7. Kredit melambat ke 8,7% pada Maret, justru saat Ramadan yang seharusnya mendorong konsumsi.
  8. Minimnya kebijakan stimulatif berbasis potensi domestik yang bisa mendorong belanja masyarakat dan industrialisasi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri turut memberi peringatan bahwa kondisi ini bisa menjadi lebih buruk ke depan. Ia menyoroti bahwa meski Ramadan dan Lebaran masuk kuartal I-2025, konsumsi rumah tangga tetap gagal menembus angka 5%, hanya berada di 4,89%.

Yose menilai perekonomian Indonesia mulai kehilangan ketahanannya terhadap guncangan global, berbeda dengan situasi krisis 2008 atau 2012 di mana Indonesia dianggap tangguh.

“Dulu kita dijuluki ‘komodo ekonomi’, sekarang tidak terasa setangguh itu lagi,” tuturnya dalam forum Southeast Asia Innovation Summit 2025.

Penyebab eksternal pun memperkeruh suasana, seperti kebijakan tarif tinggi dari Presiden AS Donald Trump, termasuk pada ekspor Indonesia sebesar 32%. Jika pemberlakuan tarif ini benar terjadi pasca masa tenggang 90 hari, maka tekanan terhadap ekspor akan makin besar.

Komentar