Wamenkum Dorong Pengesahan RUU KUHAP di 2025, Demi Sinkronisasi dengan KUHP Baru

JurnalPatroliNews – Jakarta – Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menegaskan pentingnya penyelesaian Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dalam tahun 2025. Hal ini dianggap krusial agar pelaksanaan KUHP baru, yang akan berlaku mulai 2 Januari 2026, dapat berjalan dengan sinkron dan efektif.

Dalam webinar sosialisasi RUU KUHAP yang digelar pada Rabu (28/5), Eddy sapaan akrabnya menekankan bahwa revisi terhadap aturan hukum acara pidana harus segera disahkan tanpa menunda lagi.

“Suka tidak suka, RUU KUHAP harus rampung tahun ini. Jika tidak, akan muncul kekosongan hukum saat KUHP baru mulai diterapkan,” ujar Eddy dalam keterangan tertulis, Selasa (3/6).

Ia menjelaskan bahwa sejumlah pasal dalam KUHP lama, khususnya yang menyangkut ketentuan penahanan, tidak lagi relevan begitu KUHP baru diberlakukan. Jika KUHAP tidak diperbarui, aparat penegak hukum akan kehilangan dasar hukum dalam melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa.

“Kalau penahanan masih mengacu pada Pasal 21 ayat (4) KUHAP, padahal dasar pidananya sudah dihapus dalam KUHP yang baru, maka legitimasi penahanan otomatis gugur,” jelasnya.

Lebih jauh, Eddy menyatakan bahwa RUU KUHAP dirancang untuk menggeser orientasi sistem peradilan pidana dari pendekatan “crime control” ke “due process of law”, atau dengan kata lain, dari pendekatan represif ke pendekatan yang menjamin hak asasi manusia (HAM).

“Kita tidak boleh menganggap seseorang bersalah hanya karena sudah ditangkap atau ditahan. Perlindungan hak individu harus jadi landasan utama,” tegasnya.

Dalam kerangka ini, hukum acara pidana bukan lagi sekadar sarana untuk menghukum pelaku kejahatan, melainkan juga sebagai mekanisme perlindungan warga negara dari potensi penyalahgunaan wewenang oleh aparat.

Selain menjamin proses hukum yang adil, RUU KUHAP juga disusun untuk mendukung paradigma hukum pidana modern yang mengedepankan keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif. Eddy menekankan bahwa pendekatan restoratif ini akan diterapkan tidak hanya di tingkat kepolisian, tetapi juga hingga ke pengadilan, kejaksaan, dan lembaga pemasyarakatan.

“RUU ini membuka ruang agar penyelesaian perkara pidana tak selalu berakhir di pengadilan. Proses damai dan rehabilitasi bisa diakomodasi lebih luas,” jelas Eddy.

Guna memastikan RUU KUHAP benar-benar responsif terhadap kebutuhan hukum masyarakat, Kementerian Hukum dan HAM telah melibatkan banyak pemangku kepentingan. Mulai dari kalangan akademisi, advokat, organisasi masyarakat sipil, hingga lembaga negara terkait telah diundang untuk memberikan masukan.

“Terutama dari teman-teman advokat, karena mereka yang melihat langsung bagaimana wewenang penegak hukum yang besar ini harus dibarengi dengan perlindungan HAM yang kuat,” tutup Eddy.

Komentar