JurnalPatroliNews – Jakarta – Lewat tujuh buku yang menggugah dan sarat makna, Denny JA membangun sebuah mahakarya literer yang bukan sekadar kumpulan puisi melainkan penelusuran nurani atas sejarah yang selama ini kerap diabaikan. Melalui heptalogi puisi esai, ia menyingkap sisi-sisi kelam perjalanan manusia dan bangsa, menyuarakan mereka yang tertinggal di balik narasi resmi.
Karya ketujuh sekaligus penutup seri ini, “Yang Menggigil dalam Arus Sejarah” (2025), menandai babak baru karena tak hanya bicara soal Indonesia. Ia menyeberangi batas geopolitik dan mengangkat tragedi-tragedi global seperti Revolusi Prancis, Holocaust, pembantaian Nanking, hingga nasib anak-anak korban bom atom Hiroshima.
“Enam buku sebelumnya memang berakar pada sejarah Indonesia. Namun di buku ketujuh ini, saya ingin menjangkau sisi kemanusiaan universal,” tutur Denny JA dalam keterangannya, Kamis, 3 Juli 2025.
Setiap buku dalam seri ini menggunakan bentuk khas ciptaan Denny: puisi esai—genre yang merangkai puisi dengan narasi faktual dan riset sejarah. Bukan sekadar bentuk baru, genre ini telah menjelma gerakan kultural yang melintasi batas negara, bahkan menjadi arus utama dalam Festival Puisi Esai ASEAN, yang kini telah digelar empat kali.
“Jika sejarah formal menulis tentang para pahlawan, maka puisi esai mencatat luka para korban,” ujar Denny.
Menurut Penerbit CBI, yang menaungi publikasi seri ini, proyek tersebut bukan hanya langkah sastra, tapi juga arsip batin kolektif dari pengalaman sejarah bangsa dan dunia.
“Di tengah banjir informasi digital yang serba cepat dan dangkal, puisi esai memberi kita waktu untuk hening dan merenung. Ia hadir sebagai jeda yang mengajak berpikir lebih dalam,” jelas pihak penerbit.
Mengapa puisi esai dianggap penting untuk memahami sejarah?
Pertama, karena ia berbicara langsung kepada hati. Ketika data dan statistik gagal menyentuh emosi, puisi menyapa sisi kemanusiaan terdalam.
Kedua, puisi esai memperluas cakrawala sejarah. Ia memberi ruang bagi mereka yang selama ini dibungkam: para eksil, perempuan penghibur, cinta-cinta yang tercerabut dari ruang dan waktu.
Ketiga, puisi esai membangkitkan narasi yang nyaris musnah—jerit Lastri, tangis Lina, dan suara hati yang tertinggal di dapur pengasingan.
Berikut daftar lengkap tujuh buku dalam heptalogi puisi esai Denny JA:
- Atas Nama Cinta (2012) – tentang cinta yang hancur oleh diskriminasi.
- Kutunggu di Setiap Kamisan (2018) – mengangkat suara para korban penghilangan paksa.
- Jeritan Setelah Kebebasan (2015) – menggambarkan konflik pasca-reformasi yang penuh darah.
- Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (2024) – tentang mereka yang tetap terjajah meski proklamasi telah dikumandangkan.
- Mereka yang Mulai Teriak Merdeka (2024) – menjadikan pahlawan sebagai manusia biasa dengan segala luka dan perjuangannya.
- Mereka yang Terbuang di Tahun 1960-an (2024) – berkisah tentang para eksil yang kehilangan tanah dan tumpah darahnya.
- Yang Menggigil dalam Arus Sejarah (2025) – mengangkat tragedi kemanusiaan global sebagai cermin nurani dunia.
“Karena kemerdekaan sejati, sebagaimana puisi, adalah keberanian untuk mendengar mereka yang suaranya telah lama hilang,” pungkas Denny JA.
Komentar