Jadi Beban Anak Cucu, Banyak Jalan Menuju Utang RI di Masa Pandemi Corona

JurnalPatroliNews-Jakarta – Bagaimana Pemerintahan Jokowi menyiasati besarnya kebutuhan dana penanganan covid-19, saat penerimaan pajak melambat akibat macetnya aktivitas perekonomian? Langkah pertama yang dilakukan adalah realokasi dan memfokuskan kembali anggaran kementerian dan lembaga.

Di samping itu, pemerintah juga mewajibkan seluruh kepala daerah merevisi APBD-nya masing-masing dan memprioritaskan lebih penggunaan anggaran untuk penanganan Covid-19. Jika hal ini tak dilakukan maka anggaran transfer daerah terancam tak bisa cair.

Tapi langkah tersebut ternyata tak cukup. Guna memenuhi kebutuhan anggaran sebesar Rp695,2 triliun yang dibutuhkan untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi nasional (PEN), pemerintah perlu menarik utang besar-besaran.

Saking besarnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi rasio utang pemerintah terhadap PDB bisa meningkat 7 persen dalam setahun.

Prediksi ini juga sejalan dengan Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) yang memperkirakan total utang baru pemerintah di tahun ini akan mencapai Rp1.439,8 triliun akibat pandemi Covid-19.

Jika hal itu benar, artinya total utang pemerintah bisa berada di posisi Rp6 ribu triliun pada Desember 2020. Sebab, utang pemerintah pada awal tahun lalu berada di posisi Rp4.817,55 triliun atau 30,21 persen terhadap PDB.

Mungkin tak ada yang salah dengan hal tersebut. Pemerintah di berbagai negara juga tengah berlomba mencari utang karena tak punya cukup uang untuk menghadapi Covid-19 serta dampak ekonomi yang ditimbulkannya.

Sri Mulyani sendiri mengatakan hampir seluruh negara dengan penduduk mayoritas Islam juga berutang demi menjaga stabilitas perekonomian, tak terkecuali Indonesia.

“Kalau teman-teman yang suka pakai (contoh) negara Islam, Mau (Arab) Saudi, UAE, Qatar, Maroko, Pakistan, Afghanistan, Kazakhstan,” ungkap Sri Mulyani dalam keterangan resmi beberapa waktu lalu.

Problemnya, ongkos yang perlu ditanggung pemerintah dari penerbitan utang di masa seperti ini tidak murah. Apalagi jika melihat struktur utang pemerintah yang didominasi oleh penerbitan surat berharga negara (SBN).

Merujuk data Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah hingga akhir semester pertama 2020 sudah tembus Rp5.264,07 triliun atau 32,67 persen terhadap PDB. Jumlah itu meningkat Rp693,9 triliun atau 15,2 persen jika dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

Dari total tersebut, tercatat utang berasal dari pinjaman dalam negeri Rp9,8 triliun dan pinjaman luar negeri Rp782,04 triliun. Sementara Ada pula yang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) domestik sebesar Rp3.280,02 triliun dan SBN valas Rp1.192,21 triliun.

Menurut Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi, pada April lalu pemerintah berwacana menerbitkan surat utang US$4,3 miliar dengan masa pelunasan hingga 50 tahun.

Dengan cara ini, pemerintah jadi punya nafas panjang untuk mengelola utangnya.

Membebani Anak Cucu

Sebab jika tidak, kemampuan fiskal pemerintah dalam menghadapi pemilihan ekonomi dalam beberapa tahun mendatang akan lebih berat karena pengeluaran untuk membayar beban bunga utang lebih besar.

Hal ini tentu mengurangi kemampuan pemerintah menggelontorkan stimulus lebih besar untuk menggerakkan perekonomian.

“Ini lebih baik, meski di sisi lain keputusan ini banyak ditentang karena dianggap membebani generasi anak cucu mendatang,” tutur Fithra.

Memang ada alternatif lain untuk membuat ongkos berutang jadi lebih murah, yakni lewat lembaga keuangan multilateral atau dari negara lain dengan skema government to government (g to g) lebih murah.

Namun hal ini jadi pilihan tak populer bagi pemerintah karena ada potensi kebijakan pemerintah di masa mendatang bisa didikte seperti halnya yang terjadi pada tahun-tahun setelah krisis finansial 1988.

“Paling reasonable yang sekarang bisa kita lakukan karena kalau g to g sulit juga dari IMF dan World Bank Bank bisa. Tapi di sisi lain ada dampak buruk seperti itu, dan kemungkinan tidak secepat jika kita menarik utang dari pasar,” ucapnya.

Kekhawatiran lain disampaikan Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal. Menurutnya, dengan penarikan utang besar-besaran dari SBN stabilitas moneter Indonesia jadi lebih rentan terhadap gejolak eksternal.

Apalagi per 11 Agustus 2020 total surat utang yang digenggam asing mencapai Rp943 triliun, atau 30 persen dari total surat utang pemerintah Rp3.270 triliun-berdasarkan data Direktorat Jendral Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu.

Investor asing, menurutnya, tak segan-segan melepas kepemilikannya atas SBN domestik jika prospek ekonomi dalam negeri makin suram. Bila arus modal keluar dari SBN terjadi, maka permintaan dolar AS naik dan ujung-ujungnya rupiah akan tertekan.

“Ini yang harus menjadi catatan artinya utang bisa tapi lihat sumbernya dari mana. Kalau dari luar negeri itu kerentanannya akan meningkat. karena itu yang harus diprioritaskan adalah pemberian SBN dari dalam negeri khususnya dalam kondisi seperti saat ini adalah pemberian oleh Bank Indonesia,” tuturnya.

Menurut Faisal masuknya Bank Sentral ke Pasar perdana untuk membeli SBN pemerintah adalah langkah yang patut diapresiasi.

Tindakan yang bisa dilakukan dengan payung hukum Undang-undang nomor 2 tahun 2020 terkait penanganan corona itu membuat pemerintah tak perlu repot-repot menjual SBN di pasar reguler dan mendapatkan bunga yang lebih murah.

Namun bukan berarti pembelian surat utang pemerintah oleh BI punya efek samping.

Jika Pemerintah tak berhati-hati maka hal ini bisa memicu inflasi sebab uang yang dicetak bank sentral untuk membeli obligasi pemerintah bisa menggenang di dalam negeri dan tidak bisa lari kemana-mana.

“Rupiah bukan mata uang yang bisa diekspor seperti dolar dan pemerintah perlu hati-hati. Karena peredaran uang yang lebih besar di masyarakat akan meningkatkan inflasi dan di sisi lain juga bisa mengganggu kestabilan moneter itu sendiri,” katanya. (lk/*)