Jalan Kaki Jambi-Jakarta, Suku Anak Dalam Turun Gunung, Sambangi Komnas HAM Adukan soal Sengketa Lahan 3.550 Hektar

JurnalPatroliNews – Jakarta – Perwakilan masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD) melakukan audiensi terkait sengketa lahan dengan korporasi sawit yang sudah berpuluh-puluh tahun terjadi ke Komnas HAM.

Mereka meminta agar lahan seluas 3.550 hektar di Bajubang, Batanghari, Jambi, dikembalikan kepada Suku Anak Dalam.

“Harapan kami bagaimana pemerintah pusat untuk memanggil pemerintah daerah agar menyelesaikan masalah konflik lahan 3.550 hektar diberikan kepada suku anak dalam yang berhak menerima,” kata salah seorang perwakilan Suku Anak Dalam, Utut Adianto usai audiensi di Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, Senin (13/7/2020).

Utut menuturkan, beberapa hari sebelum audiensi di Komnas HAM, sejumlah perwakilan Suku Anak Dalam melakukan aksi longmarch dari Jambi menuju Istana Merdeka. Dia mengatakan, pihak Istana akan mendorong pertemuan dengan beberapa pihak lain yang terlibat.

“Jalan kaki kami ke Istana, Jambi-Jakarta. Nah kemarin di tanggal 1 (Juli 2020) kami mulai gerak jalan, dari Merak sampai ke Istana negara, tanggal 9 (Juli 2020) kami nyampai. Diterima pihak Istana jam 4 (sore) di KSP oleh pak Arbert Tarigan. Kalau kemarin mereka menerima kami hasil pendiskusian mereka akan mendorong pertemuan besar dan memanggil semua pihak termasuk pemerintah daerah,” tuturnya.

“Di 2016 sebenarnya sudah dapat surat instruksi dari BPN RI untuk mengembalikan lahan 3.550 hektar. Tapi pemerintah daerah sendiri yang tidak melaksanakan apa yang menjadi instruksi pemerintah pusat,” sambungnya.

Sementara itu, perwakilan Suku Anak Dalam lainnya, Abas Subu mengungkapkan banyak oknum-oknum yang mengatasnamakan Suku Anak Dalam yang ikut mencampuri persoalan sengketa lahan tersebut. Abas menyebut lahan seluas 3.550 hektar itu merupakan lahan milik Suku Anak Dalam yang diklaim berdasarkan peta warisan leluhur.

“Banyak yang mengatasnamakan Suku Anak Dalam, tapi kami no comment nggak peduli hal-hal itu karena kami nggak ada merugikan beliau dan juga tidak menuntut hak Bupati, tidak menuntut hak Camat ataupun Kapolres maupun oknum lain. Yang kami tuntut adalah hak kami sebelum keberadaan penjajahan Belanda Jepang, hak kami menuntut di situ. Walaupun diintimidasi atau di politik ya bagaimana hak kami yaitu dasar peta kami itu sungai bahar tetep sungai bahar sungai cumidai tetep sungai cumidai ya sungai binjai tetap sungai binjai, jadi peta kami dasarnya sungai pematang, makam pekuburan dan bekas-bekas dusun perkampungan,” ujarnya.

“Jadi kami ndak bisa dipolitiki dengan peta zaman sekarang. Peta zaman sekarang tuh bentuknya begini, besok pagi sudah berubah,” imbuhnya.

Untuk itu, Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan, Choirul Anam meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengevaluasi tata kelola politik penerbitan Hak Guna Usaha (HGU). Anam meminta agar departemen terkait melakukan clearance terlebih dahulu dengan Komnas HAM sebelum HGU diterbitkan.

“Kami minta pak presiden untuk memikirkan ulang tata kelola politik per HGU-an. Salah satu yang bisa dilakukan dengan cepat adalah memerintahkan kepada seluruh departemen yang mengurusi HGU ketika mau menerbitkan ijin HGU minta clearance ke Komnas HAM,” tandasnya.

(lk/*)

Komentar