Seberapa Amankah Vaksin Corona Buatan Pfizer dan BioNTech, Simak 6 Pertanyaan Ini?

JurnalPatroliNews – Jakarta – Dua perusahan farmasi pembuat vaksin Covid-19, Pfizer dan BioNTech mengumumkan bahwa vaksin buatan mereka diklaim 90 persen mampu mencegah gejala virus corona penyebab Covid-19.

Dilansir dari The Guardian, (11/11/2020), adanya kabar ini tidak serta merta vaksin sudah dapat didistribusikan.

Para peneliti memperingatkan bahwa data dari uji coba yang dilakukan Pfizer dan BioNTech masih belum final. Mereka mengatakan, masih banyak hal yang belum diketahui dari pengujian vaksin ini.

Berikut 6 pertanyaan dan jawaban mengenai vaksin Pfizer dan BioNTech yang diberi nama BNT162b itu.

1. Seberapa amankah vaksin tersebut?

Pfizer dan BioNTech mengatakan, tidak ada “masalah keamanan serius” yang muncul sejauh ini, tetapi mereka akan terus mengumpulkan data mengenai pengujian keamanan vaksin.

Seorang profesor kedokteran di University of East Anglia, Paul Hunter menyebut, ada beberapa efek samping, seperti sakit lengan atau demam.

Diketahui, vaksin ini berbasis mRNA dalam pengujiannya.

Mengingat vaksin Pfizer dan BioNTech merupakan jenis vaksin baru, bukan tidak mungkin seseorang bisa alergi terhadap salah satu komponennya.

2. Dapatkah vaksin mencegah gejala Covid-19 yang parah?

Pihak Pfizer mengatakan, studi ini dirancang untuk mendeteksi apakah vaksin dapat melindungi dari penyakit Covid-19 yang parah, tetapi datanya belum dipublikasi.

“Apa yang dapat kami katakan adalah bahwa vaksin menghentikan infeksi gejala klinik, tetapi ada ketidakpastian mengenai infeksi tanpa gejala,” ujar Hunter.

Ia berharap, pihaknya akan mempelajarinya di masa mendatang.

Menurut seorang profesor di University of Reading, Dr Alexander Edwards, jika seseorang tidak terinfeksi maka orang tersebut tidak bisa terkena penyakit yang parah.

3. Apakah vaksin mencegah penularan virus?

Saat ini belum jelas apakah vaksin tersebut dapat melindungi dari infeksi virus corona atau hanya dari gejala yang berkembang begitu seseorang terinfeksi.

“Jika itu menghentikan infeksi maka, menurut definisi, itu harus menghentikan penularan dari satu orang ke orang lain,” ujar Hunter.

“Apabila seseorang tidak terkena infeksi karena orang itu telah diimunisasi, maka orang itu tidak akan menulari saya. Namun, jika yang Anda alami adalah infeksi tanpa gejala,masih ada potensi risiko Anda dapat menulari saya, meskipun hampir pasti jauh lebih rendah daripada jika Anda benar-benar sakit secara klinis,” lanjut dia.

4. Apakah vaksin bekerja pada lansia dan anak-anak?

Anak-anak di atas usia 12 tahun dan orang dewasa berusia hingga 85 tahun juga diikutsertakan dalam uji coba.

Seorang profesor dari London Scholl of Hygiene & Tropical Medicine, Beate Kampmann mengatakan, data yang diuraikan berdasarkan usia belum dirilis.

Kebanyakan vaksin tidak bekerja dengan pada pada lansia dan orang yang lebih muda.

Menurut Hunter, hal ini tidak mengherankan karena orang lanjut usia tidak selalu meningkatkan respons kekebalan yang efektif terhadap infeksi alami.

“Jadi, tidak mengherankan jika orang tua tidak menanggapi vaksin ini seefektif orang yang lebih muda, tetapi itu adalah sesuatu yang perlu kami lihat datanya,” ujar Hunter.

5. Mengapa vaksin ini tidak berhasil untuk 10 persen orang?

Menilik keefektifan vaksin Pfizer dan BioNTech sebesar 90 persen, pakar virus dari University of Leeds, Dr Stephen Griffin mengatakan bahwa sulit untuk menjelaskan mengapa vaksin tidak berhasil pada pasien tanpa mengetahui siapa mereka.

“Vaksin akan bekerja pada orang yang berbeda secara berlainan juga. Jadi, seseorang sering mendapatkan tingkat respons yang berbeda dalam populasi,” ujar Griffin.

Ia menambahkan, ketika masyarakat sudah benar-benar mempelajari seluk beluk data, sulit untuk memahami dengan pasti mengapa beberapa orang merespons dan mengapa beberapa tidak merespons.

6. Berapa lama perlindungan vaksin dapat bertahan?

Diketahui, tingkat efektivitas vaksin sebesar 90 persen dihitung tujuh hari setelah suntikan kedua, namun hasil ini kemungkinan besar akan berubah seiring dengan pengumpulan data dalam jangka panjang.

Secara umum, untuk memastikan berapa lama perlindungan berlangsung, penelitian lanjutan akan diperlukan untuk mendeteksi tingkat kedua jenis tanggapan kekebalan, antibodi dan sel T, serta risiko paparan berulang.

(*/lk)

Komentar