Soal Sorotan Politik Dinasti yang Kini Mengarah ke Gibran Anak Jokowi

JurnalPatroliNews – Jakarta – Jatuhnya rekomendasi cawalkot Solo PDIP ke Gibran Rakambuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, diiringi menguatnya cibiran soal politik dinasti. Kritik memang mengemuka, namun ada juga yang memandang politik dinasti tak serta merta bakal buruk hasilnya.

“Munculnya Gibran dan Bobby Nasution, putra dan mantunya Presiden Jokowi sah-sah saja dilihat melalui kaca mata politik dinasti. Sebagaimana pula kemunculan AHY, Ibas SBY atau Puan Maharani dalam memimpin partai. Dinasti politik kan tidak selalunya bermakna negatif,” kata Founder Sekolah Kebangsaan Kader Bangsa Fellowship Program (KBFP), Dimas Oky Nugroho, saat berbincang, Rabu (22/7/2020).

Di banyak negara yang demokrasinya maju sekalipun, kata Dimas, keluarga besar yang berkiprah secara turun-temurun di bidang politik juga sesuatu yang lumrah terjadi. Di Amerika dikenal keluarga politisi Kennedy, Bush dan Clinton pada pentas politik nasionalnya. Di India, Pakistan dan Kanada juga ditemukan pola klan politik yang turun-temurun melayani masyarakat.

“Berlangsung secara sehat dan demokratis melalui sistem pemilihan langsung yang teruji dan berkualitas. Tetangga terdekat kita Filipina, dalam sebuah penelitian di tahun 2016, terungkap 80 persen kepala daerah setempat berasal dari sebuah pusaran keluarga yang berpolitik dan mengikuti kontestasi publik yang kompetitif,” ulas pria yang pernah diusung PDIP di Pilkada Depok 2015 ini.

Di Indonesia, dia melanjutkan, dengan semakin menguatnya demokrasi dan proses politik yang terbuka, maka keterlibatan sebuah keluarga yang terjun dalam berpolitik tak akan mungkin terhindarkan. Apalagi klan politik memiliki pendukung loyalnya masing-masing meskipun zaman dan rejim politik berganti.

“Di masa ketika anak muda memiliki porsi demografi yang cukup besar, anak muda yang berpolitik mengikuti karir keluarga atau orang tuanya dalam memimpin atau berkontestasi untuk suatu jabatan publik adalah sesuatu yang secara elektoral sangat masuk akal dan wajar terjadi,” ujar Dimas.

Dia mengatakan tinggal dlihat apakah sebuah dinasti politik membawa kebaikan atau tidak, berkualitas atau tidak, untuk kemaslahatan rakyat. Peraih gelar PhD atau Doctor of Philosophy bidang antropologi politik dari University of New South Wales ini menyebut kualitas dinasti politik tergantung dari dua indikator utama.

Pertama, sistem politik dan praktik demokrasi setempat, termasuk pelaksanaan pemilu dan kebebasan sipil, semakin berlangsung secara baik dan sehat atau sebaliknya. Kedua, kemunculan kepemimpinan publik yang berasal dari suatu klan politik tertentu di suatu daerah/negara tertentu secara turun temurun apakah membawa perbaikan tata pemerintahan, layanan publik dan kesejahteraan sosial yang semakin baik, berkualitas dan merata atau sebaliknya.

“Bagi saya, yang terpenting, dalam menilai soal dinasti politik ini adalah apakah politisi yang berasal dari satu keluarga tertentu tersebut memiliki DNA atau legacy berpolitik yang positif atau negatif? Jika legacy dalam memimpin masyarakat dikenang secara baik, membawa kebajikan dan kemaslahatan rakyat, maka dinasti politik tersebut tentu akan selalu mendapat legitimasi dan dukungan dari rakyat,” papar Dimas.

“Sebaliknya, jika legacy-nya buruk, semisal korupsi dan berbagai pelanggaran moral publik lainnya, maka justifikasi politik dan legitimasi publiknya akan lemah, bahkan akan mengalami penolakan secara luas,” pungkasnya.

(dtk)

Komentar