Tambah Data!, KPK Pelajari Salinan Sertifikat yang Diserahkan MAKI Kasus Korupsi Sarana Jaya

JurnalPatroliNews, Jakarta – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyerahkan salinan sertifikat hak guna bangunan (HGB) lahan di Cipayung, Jakarta Timur, terkait kasus dugaan korupsi yang menjerat Dirut PD Sarana Jaya nonaktif, Yoory Corneles Pinontoan, ke KPK.

Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, mengaku pihaknya akan mempelajari salinan sertifikat tersebut.

“Benar, kami telah menerima data dimaksud, kami akan pelajari lebih lanjut,” ujar Ali melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (20/3/2021).

Ali mengapresiasi peran masyarakat dalam melakukan pengawasan penyidikan yang dilakukan KPK. Dia memastikan semua proses penyidikan dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.

“KPK sampaikan terima kasih atas peran serta masyarakat dalam mengawasi dan mengawal proses penyidikan perkara yang saat ini sedang kami lakukan. KPK memastikan segala proses yang dilakukan dalam kegiatan penyidikan ini sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,” katanya.

Ali mengatakan KPK akan selalu menyampaikan perkembangan dari kasus tersebut. Menurutnya, hal itu sebagai bentuk keterbukaan KPK.

“Kami tegaskan segala perkembangan dari penanganan perkara ini akan selalu kami infokan kepada masyarakat sebagai bentuk keterbukaan KPK,” imbuh Ali.

Sebelumnya, penyerahan salinan sertifikat itu dilakukan oleh Koordinator MAKI Boyamin Saiman. MAKI menyebut lahan di Cipayung itu milik sebuah yayasan.

“Disampaikan copy sertifikat Hak Guna Bangunan Lahan di Munjul, Pondok Rangon, Cipayung, Jakarta Timur, yang saat ini KPK sedang melakukan penyidikan dugaan korupsi pembelian lahan tersebut oleh BUMD DKI Jakarta PD Sarana Jaya,” kata dalam keterangan tertulis, Jumat (19/3).

Boyamin menyebutkan bahwa lahan di Cipayung terdiri dari Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 97, 98, dan 99, yang diterbitkan oleh Kantor BPN Jakarta Timur pada 31 Juli 2001, dengan masa berlaku hingga 31 Juli 2021. Karena milik yayasan, Boyamin menyebut lahan dimaksud tidak bisa dijual.

“Bahwa lahan tersebut dimiliki oleh sebuah yayasan, sehingga tidak bisa dijual kepada sebuah perusahaan, bisnis, swasta. Lahan yayasan hanya boleh dialihkan kepada yayasan lain untuk digunakan tujuan fungsi sosial,” jelasnya.

Boyamin mengatakan PD Sarana Jaya seharusnya menunggu perpanjangan HGB untuk melakukan pembayaran karena berakhir pada 2021. Menurutnya, pembayaran sebelum HGB diperpanjang merupakan bentuk pembayaran yang sia-sia dan berpotensi tidak akan memperoleh lahan tersebut.

Lebih jauh, menurut Boyamin, ketika lahan tersebut telantar karena tidak didirikan bangunan, ada potensi HGB dicabut atau setidaknya perpanjangannya akan ditolak. Boyamin mengatakan pembayaran yang telah dilakukan PD Sarana Jaya merupakan sesuatu kecerobohan.

“Bahwa sebelum terbit HGB tahun 2001, lahan tersebut adalah berstatus Hak Pakai yang dimaknai lahan milik pemerintah sehingga, ketika lahan tersebut terlantar karena tidak didirikan bangunan maka berpotensi HGB dicabut atau setidaknya perpanjangannya akan ditolak, sehingga pembayaran oleh PD Sarana Jaya adalah sesuatu hal ceroboh dan uang terbuang percuma,” sebutnya.

Boyamin juga menduga pembelian lahan oleh PD Sarana Jaya telah melanggar UU Yayasan sehingga HGB tersebut dapat dicabut. Pembelian lahan yang dilakukan PD Sarana Jaya dari perusahaan swasta, sebutnya, dapat diduga sebagai tindakan korupsi.

“Bahwa dengan rencana penjualan lahan oleh pemegang HGB kepada perusahaan swasta yang kemudian dijual kepada PD Sarana Jaya, patut diduga telah melanggar UU Yayasan sehingga HGB tersebut dapat dicabut oleh pemerintah karena tidak sesuai peruntukannya, sehingga pembayaran PD Sarana Jaya kepada sebuah perusahaan swasta patut diduga turut serta korupsi yang merugikan negara,” papar Boyamin.

(*/lk)

Komentar