Tanggapi Unggahan LSM dan WALHI Soal Penggusuran Lahan Adat, Ini Penjelasan Kapolres TTS Aria Sandy

JurnalPatroliNews-Jakarta,– Kapolres Timor Tengah Selatan (TTS) AKBP Aria Sandy menyebut warga yang mengungsi di lahan Desa Pubabu, Kabupaten TTS, Nusa Tenggara Timur (NTT), bukanlah masyarakat adat asli setempat.

Menurutnya, segelintir orang yang memutuskan untuk menetap di lahan milik Pemerintah Provinsi NTT itu hanya diprovokasi oleh kelompok tertentu.

“Jadi kalau dibilang mereka mewakili masyarakat adat, itu keliru. Mereka bukan masyarakat adat, mereka orang dari luar wilayah,” kata Aria saat dihubungi rekan media, Rabu (19/8).

“Yang jelas secara legal standing, tanah itu wilayah sudah diserahkan ke Pemda dan sudah sertifikat hak pakai. Orang yang protes itu adalah orang yang sama sekali tidak punya hak sama sekali,” lanjut dia.

Hal itu dikatakannya saat menanggapi unggahan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang menyebut ada dugaan intimidasi oleh aparat dalam penggusuran terhadap masyarakat adat di TTS, Selasa (18/8).

Aria mengungkapkan bahwa saat ini kepolisian sudah mengantongi identitas terduga provokator yang mendorong agar masyarakat yang didominasi oleh perempuan dan anak-anak itu bersikeras untuk menempati lahan milik pemerintah tersebut.

Hanya saja, kata dia, kepolisian tidak dapat menangkap provokator itu lantaran tidak ada laporan polisi (LP) dari pemerintah daerah setempat terkait dengan dugaan kasus penyerobotan lahan.

“Sudah tahu kami nama-namanya. Kami cuma butuh Pemprov lapor ke kami buat LP penyerobotan lahan, kami tangkap itu orang-orang. Tapi Pemprov tidak lakukan itu,” jelas dia.

Menurut kepolisian, hanya ada sekitar 37 keluarga yang tersisa dan menempati lahan tersebut. Kebanyakan dari mereka telah menyetujui konsensus sengketa lahan di wilayah itu.

Pemprov pun, kata dia, telah menyediakan ganti rugi berupa tanah seluas 800 meter bersertifikat hak milik dan dibangunkan sebuah rumah. Selain itu, masyarakat pun akan dilibatkan dalam kegiatan Dinas Peternakan setempat.

“Rumah sudah dibuat, mereka tetap tidak mau tinggal disana. Ini cuma segelintir orang saja,” jelas Aria.

Terpisah, Pemerintah Provinsi NTT membantah tudingan tindakan anarkistis dalam penggusuran di Pubabu, Besipae, TTS, itu.

“Tidak ada anarkis, tidak ada tindakan represif, dan intimidasi serta penelantaran terhadap masyarakat di Pubabu,” kata Kepala Badan Pendapatan dan Aset Provinsi NTT, Zeth Sony Libing, Rabu (19/8),

Menurut dia, pemerintah sudah selesai membangun rumah untuk mereka sejak enam hari lalu. Bangunan rumah itu memiliki beberapa ukuran sesuai dengan ukuran rumah warga yang digusur, yakni 4×6 meter dan 5×6 meter.

“Apa yang dilakukan aparat keamanan hanya shock therapy untuk membangunkan masyarakat agar bersedia menempati rumah yang sudah dibangun pemerintah,” katanya.

Sejak itu, pihaknya berusaha melakukan pendekatan dengan warga untuk mendiami rumah yang sudah disiapkan. Namun, itu tidak mendapat respons.

“Saya sepuluh hari di lokasi. Baru kembali karena ada sidang di DPRD NTT. Tidak ada intimidasi, kami mengajak masyarakat untuk tinggal di rumah yang sudah disiapkan, tetapi mereka justru tidur-tiduran dibawah pohon,” katanya.

Karena warga bersikeras, Zeth menyebut aparat menembakkan gas air mata ke tanah dengan tujuan agar warga bisa masuk ke rumah yang disediakan tersebut.

“Saya setiap hari mengajak mereka agar bisa tempati rumah itu tapi mereka sengaja tidur-tiduran di tanah agar terkesan kita tidak memperhatikan dan menelantarkan mereka,” katanya.

“Saya tidak tahu siapa yang ajar mereka. Ini bentuk eksploitasi perempuan dan anak,” cetusnya.

(lk/ant)

Komentar