BPOM Keluarkan Jenis Izin Baru , Expanded Access Programs

JurnalPatroliNews Jakarta –  Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan jenis izin baru yang bernama Expanded Access Programs (EAP).

Persetujuan penggunaan obat dalam kondisi darurat yang selama ini kita kenal adalah EUA atau Emergency Use Authorization. Izin EUA sendiri diberikan pada industri farmasi yang memproduksi obat darurat tersebut.

Namun, kini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan jenis izin baru yang bernama Expanded Access Programs (EAP) mengingat situasi pandemi seperti sekarang diperlukan obat yang dapat digunakan dalam mengatasi penyakit yang mengancam jiwa.

“Diperlukan terobosan skema perluasan penggunaan khusus obat yang masih dalam tahap penelitian. Skema ini telah diberlakukan oleh regulator di berbagai negara, seperti The United States Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicines Agency (EMA),” terang laporan terbaru BPOM yang diterima rekan media, Rabu (21/7).

EAP BPOM ini telah sah di mata negara dengan diterbitkannya Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK.02.02.1.2.07.21.288 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Prinsip Penggunaan Obat Melalui Skema Perluasan Penggunaan Khusus (Expanded Access Program) Pada Kondisi Darurat.

“Skema Perluasan Penggunaan Khusus (Expanded Access Program/EAP) merupakan skema yang memungkinkan perluasan penggunaan suatu obat yang masih berada dalam tahap uji klinik untuk dapat digunakan di luar uji klinik yang berjalan, jika diperlukan dalam kondisi darurat,” tulis laporan BPOM tersebut.

Persetujuan penggunaan obat melalui EAP bukan merupakan izin edar atau EUA yang ditujukan kepada industri farmasi, namun berupa persetujuan penggunaan kepada kementerian atau lembaga penyelenggara urusan pemerintahan di bidang kesehatan, institusi kesehatan, atau fasilitas pelayanan kesehatan.

“Penggunaan obat yang digunakan melalui skema EAP harus dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan (rumah sakit atau Puskesmas) yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan , serta menggunakan dosis dan aturan pakai yang sama dengan yang digunakan dalam uji klinik,” tambah laporan itu.

 

Keluarnya EAP ini sejalan dengan tengah dilakukannya uji klinis pada obat Ivermectin oleh Badan Pengkajian Kebijakan Kesehatan (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan) untuk memperoleh data khasiat dan keamanan dalam menyembuhkan COVID-19.

Jadi, bisa dikatakan dengan adanya izin EAP ini, Kemenkes punya ‘jalur alternatif’ dalam penggunaan Ivermectin untuk kasus COVID-19.

“Apabila dibutuhkan penggunaan Ivermectin yang lebih luas oleh fasilitas pelayanan kesehatan, maka Kementerian Kesehatan dapat mengajukan permohonan penggunaan Ivermectin dengan skema EAP ke BPOM,” tulis laporan itu.

BPOM memberi catatan penting di laporan terbarunya itu bahwa mengingat Ivermectin adalah obat keras dan persetujuan EAP bukan merupakan persetujuan izin edar, maka ditekankan kepada industri farmasi yang memproduksi obat tersebut dan pihak mana pun untuk tidak mempromosikan obat tersebut, baik kepada petugas kesehatan maupun masyarakat.

“Dengan pertimbangan bahwa obat EAP merupakan obat yang masih digunakan dalam kerangka penelitian dan berpotensi untuk disalahgunakan, maka BPOM perlu melakukan pengawasan untuk mengawal distribusi obat EAP hanya dilakukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan yang disetujui,” lanjut laporan itu.

Ditekankan BPOM juga bahwa pemilik Persetujuan dan Penyedia Obat EAP wajib melakukan pemantauan farmakovigilans dan pelaporan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) maupun Efek Samping Obat (ESO), serta melakukan pencatatan dan pelaporan setiap bulan terkait pengadaan, penyaluran, dan penggunaan obat EAP kepada BPOM.

(*/lk)

Komentar