Kebangkitan Bitcoin, Ditengah Tsunami Utang : Zambia Kibarkan Bendera Putih

JurnalPatroliNews – Jakarta,– Tidak hanya menyerang kesehatan manusia dan kesehatan ekonomi dunia, pandemi juga menyerang kesehatan negara-negara di dunia dengan membengkaknya utang. Di tengah kondisi demikian, bitcoin menemukan momentumnya.

Krisis pandemi sejauh ini telah merenggut 1,4 juta jiwa di seluruh dunia, menurut data Worldometers, dengan nyaris 58 juta orang terjangkit virus mematikan tersebut. Kabar baiknya, 40,2 juta orang telah dinyatakan sembuh.

Namun, ada kabar buruk tambahan. Menurut Konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (United Nations Conference on Trade and Development/ UNCTD), krisis pandemi bakal membuat ekonomi dunia terkontraksi 4,3% tahun ini.

Ketika nilai produk domestik bruto (PDB) hilang mencapai US$ 6 triliun, sebagaimana proyeksi UNCTAD. kesejahteraan masyarakat pun menurun. Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) memperkirakan setengah miliar lapangan kerja di dunia terancam akibat pandemi.

“Setidaknya 100 juta lapangan kerja bakal hilang akhir tahun ini. Lalu, 90 juta-120 juta orang di negara berkembang akan masuk jurang kemiskinan ekstrim,” tulis UNCTAD yang mengutip ILO, dalam laporan “Trade and Development Report 2020” yang dirilis pada September lalu.

Untuk mengerem dampak buruk pandemi tersebut, pemerintah di seluruh dunia pun berlomba-lomba menyuntikkan stimulus ke perekonomian. Namun mengingat pemasukan negara dari pajak sedang ambles akibat krisis pandemi, mereka pun berlomba menerbitkan surat utang.

Hasilnya, terjadilah tsunami utang dunia. Dalam laporan yang dirilis pada Rabu kemarin, Institut Keuangan Internasional (Institute of International Finance/IIF) memperkirakan utang di seluruh dunia di penghujung tahun ini bisa membengkak US$ 277 triliun (setara Rp 3.928,6 triliun).

Utang pemerintah (terutama negara maju) menyumbang nyaris separuh kenaikan tersebut, sehingga rasio utang terhadap PDB negara maju akan melesat menjadi 432% dari PDB, sementara rasio serupa di negara emerging market diprediksi naik nyaris 250% dari PDB.

Sumber: IIF

Namun, menurut IIF, pandemi corona bukanlah faktor satu-satunya di balik lonjakan utang dunia tersebut, karena secara fundamental sistem utang berbunga memang berujung pada kenaikan kebutuhan pembiayaan utang (refinancing) terutama ketika penerimaan negara belum optimal.

“Laju akumulasi utang dunia sudah berlebihan sejak 2016, dengan kenaikan lebih dari US$ 52 triliun,” tulis IIF sebagaimana dikutip CNBC International. Meski ada utang baru US$ 15 triliun tahun ini akibat pandemi, kenaikan utang dunia mencapai US$ 6 triliun/tahun sejak 2016.

Risiko terbesar dari kenaikan utang tersebut bakal dihadapi jika ekonomi tak kunjung pulih. Jika skenario pemulihan berbentuk ‘kurva W’ terjadi, saat itulah pemerintah, swasta, dan masyarakat bakal tercekik kewajiban utang yang menjadi pukulan tambahan atas beban mereka.

Di tengah tsunami utang ersebut, dunia dikejutkan dengan pernyataan pemerintah Zambia yang secara resmi mengangkat bendera putih menghadapi kewajiban utangnya. Negara Afrika ini gagal bayar (default) atas pembayaran bunga sebesar US$ 42,5 juta (setara Rp 600 miliar), dari pokok obligasi berdenominasi euro (eurobond) setara US$ 3 triliun.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya efek berantai, dengan munculnya Zambia lain yang menunggak pembayaran kewajiban utang. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) pada akhir tahun lalu telah mengingatkan bahwa lebih dari 40% negara berpenghasilan rendah tengah menghadapi tekanan utang.

Peringatan itu dikeluarkan bahkan ketika pandemi belum menerpa. Akhir tahun ini, jika kondisi krisis terus berlangsung maka tak menutup kemungkinan akan bermunculan negara yang gagal bayar utangnya. Oleh karena itu, pertemuan G-20 memperpanjang Debt Service Suspension Initiative (DSSI) yang memberi kelonggaran sementara pembayaran kewajiban utang.

Bagi ekonomi dunia, mekanisme DSSI memberikan jaminan bahwa ekonomi akan baik-baik saja setidaknya hingga akhir tahun ini. Namun bagi investor global, realitas yang ada ini membuat mereka menghitung ulang risiko investasi.

Surat Berharga Negara (SBN) yang selama ini dinilai sebagai aset aman setelah emas dan dolar Amerika Serikat (AS) pun kehilangan kharismanya, di tengah tren kenaikan utang pemerintah dan risiko gagal bayar yang membesar. Di tengh situasi demkian, bitcoin pun unjuk gigi.

Harga bitcoin tercatat meroket hingga harganya sempat menembus US$ 18.0600 per keping pada Rabu lalu, alias Rp 255 juta! Ini menjadikannya sebagai aset paling menguntungkan di muka bumi, mengingat 12 tahun lalu bitcoin hanya dihargai US$ 0,08 (Rp 1.135) per keping.

Sumber: Refinitiv

Deutsche Bank dalam laporan yang ditulis Jim Reid melaporkan bhwa investor kian tertarik membeli bitcoin ketimbang emas, sebagai aset lindung nilai terhadap risiko kurs dan inflasi. Riset serupa juga diterbitkan oleh JPMorgan yang menyebutkan bahwa investor institusi beralih dari emas ke bitcoin.

Bahkan agak lebih optimistis, hedge fund manager, Bill Miller, sebagiamana dilaporkan Zerohedge memperkirakan bahwa setiap bank besar di dunia pada akhirnya akan memegang bitcoin sebagai salah satu aset investasi mereka untuk mengatasi risiko pandemi.

Jika skenario pemulihan ekonomi berbentuk ‘kurva V’ kan jauh panggang dari api, dengn munculnya ‘kurva W’ karena adanya gelombang kedua penyebaran Covid-19 maka tak menutup kemungkinan bitcoin akan mendampingi emas menjadi aset lindung nilai.

(*/lk)

Komentar