Didin mengungkapkan masalah lain mengenai impor pangan yang terjadi seperti kartel, sebagai coontoh pada impor garam yang hingga saat ini masih terjadi. “Indonesia saat ini terjebak pada middle income trap, yang menyebabkan utang Indonesia semakin bertambah banyak” tambahnya.
Dr. Hendri Satrio Pendiri Kedai Kopi menduga dalam proses pemilu 2023 ini, ada usaha satu putaran kemenangan Prabowo – Gibran dengan diksi-diksi massive tentang menang satu putaran. “Menerobos aturan dari Mahkamah Keluarga, kemudian diperetelinya kejadian, dan masukan-masukan kritis dari Univeritas Paramadina. Bahkan banyak pengamat politik yang melihat kalau sampai tidak satu putaran, Prabowo – Gibran akan kalah” kata Hendri Satrio.
Metode politik tersentral dengan distribusi sembako sebagai alat politik. “Bahkan distribusi sembako Januari nanti tidak diberikan oleh Kementrian Sosial karena dikhawatirkan akan mewakili atau pemberian dari salah satu pasang capres-cawapres” imbuhnya.
Hendri Satrio memandang rasa cinta tanah air harus lebih besar dibanding rasa cinta kepada sebuah golongan, harus memiliki akal sehat dan kepatutan dalam memilih pemimpin, dan sebagai pemilik otoritas suara harus dipergunakan sebaik mungkin. “Oposisi yang lemah tidak akan membuat Indonesia kemana-mana. Sementara dalam teori lainnya, negara akan langgeng melaksanakan demokrasinya jika ada ekonomi yang merata, hukum yang tidak tebang pilih, dan kedewasaan berfikir” tambahnya.
Ahmad Khirul Umam, Ph.D. Managing Director of PPPI menceritakan bahwa lahirnya Univeritas Paramadina adalah manifestasi dari lahirnya demokrasi di Indonesia. “Terminologi tersebut dibangun oleh Nurcholis Madjid pada 18-21 Mei 1998, yang ditulis untuk reformasi di Indonesia pada masa Presiden Soeharto.”
Umam juga menyebutkan bahwa pelemahan secara sistematis hampir di tiap layer di pemerintahaan. “Penghancuran pelemahan di negara karena terjadi dominasi yang dilakukan, yang menghasilkan power relation. Politik yang wealth of defence yang hanya menjadi sebuah retorika belaka, faktanya yang disebut dengan konsep oligarki” imbuhnya.
Apa yang terjadi di MK jelas Umam, bahwa kekuasaan eksekutif mengintervensi kekuatan yudikatif.
“Meskipun sulit bahkan tidak bisa dibuktikan tetapi logika kita menyebutkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam putusan 90 dan diperkuat dengan putusan 140.” Paparnya.
Masih menurut Umam bahwa prinsip-prinsip yang hilang rata-rata terjadi karena dominasi yang dikembangkan oleh kekuasaan, muncul narasi yang dapat menghancurkan, dan politik identitas.
“Yang bisa dilakukan adalah mencoba untuk menggabungan semua elemen kekuatan, mencoba menarasikan akal sehat, tentu semua pesimisme menggelayuti kita. Tapi bukan berarti menghentikan kita.”
Prof. Komarudin Hidayat, Guru Besar/Cendekiawan Paramadina dalam penutup diskusi memberikan pandangannya bahwa terjadi 25 tahunan generasi atau orde politik.
“Idealnya yang semakin baik dan terjadi perkembangan terus menerus. Mengutip Ronggo Warsito bahwa dalam sejarah terjadi pengulangan. Proses keindonesiaan semakin membesar dan menguat dari segi bahasa, ditumpangi oleh globalisme dan tradisi negara sehingga terjadi benturan dengan komunalisme dan local wisdom.” Ujarnya.
Komentar