Terkait Wacana Kenaikan PPN : Ekonom Faisal Basri : Terobosan Stupid

JurnalPatroliNews – Jakarta,– Ekonom Faisal Basri menilai rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai terobosan stupid (bodoh). Pasalnya, kebijakan itu akan menyulitkan masyarakat kelas menengah ke bawah di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi covid-19.

“Itu terobosan stupid,” ujarnya kepada rekan media, Jumat (21/5).

Terlebih, tarif PPN direncanakan naik dari 10 persen menjadi 15 persen. PPN ini jenis pajak yang dibebankan ke konsumen, baik mereka yang kaya dan miskin.

“PPN ini berlaku untuk orang kaya dan miskin. Orang beli makan, bayar PPN. Tarifnya kan sama,” terang Faisal.

Kenaikan tarif PPN membuat pengeluaran masyarakat akan bertambah. Mereka yang biasanya hanya menanggung tambahan biaya 10 persen dari total belanja, maka harus bersiap-siap menambah biaya menjadi 15 persen dari total belanja.

“Ini bahaya kenaikan PPN. Otomatis mengurangi daya beli masyarakat. Tidak ada satu negara menaikkan PPN tatkala belanja masyarakat tertekan akibat pandemi. Pengangguran naik, pendapatan turun, dan pos belanja pengeluaran naik dari 10 persen menjadi 15 persen,” jelas Faisal.

Dengan kata lain, harga barang akan naik. Sebab, total harga yang harus dibayar masyarakat ketika berbelanja bertambah kalau PPN benar-benar naik menjadi 15 persen.

“Kalau harga naik konsumen akan mengurangi belanjanya,” imbuh Faisal.

Fenomena ini akan berdampak buruk untuk pertumbuhan ekonomi. Sebab, konsumsi masyarakat merupakan kontributor terbesar dalam pertumbuhan ekonomi.

Memang, penerimaan pajak akan naik jika tarif PPN meningkat. Terlebih, PPN menjadi penyumbang terbesar dalam penerimaan pajak di dalam negeri.

Kendati demikian, Faisal memandang kebijakan ini secara keseluruhan tak bagus untuk ekonomi. Kenaikan pajak akan menjadi percuma, karena ekonomi domestik akan terus bergerak lemah.

“Kira-kira gini, saya makan dari sepiring naik menjadi 1,5 piring. Tapi berat badan tidak naik karena cacing di dalam perut tidak diobati. Akhirnya, berat tidak naik. Berat badan ini ekonomi keseluruhan,” kata Faisal.

Lagipula, lanjut dia, pemerintah sebenarnya bisa menarik pajak lebih banyak kepada pengusaha kelas kakap. Hal ini khususnya, pengusaha di sektor pertambangan dan konstruksi.

“Contoh pertambangan itu sumbangannya 4,3 persen, sumbangan ke PDB 6,6 persen. Kalau netral seharusnya sama, tapi ini ada potensi yang menguap karena rasio tax coefficient 0,66 persen, konstruksi potensi menguap 0,48 persen,” tutur Faisal.

Potensi pajak yang menguap ini lantaran pemerintah terlalu banyak mengobral insentif untuk pengusaha kelas kakap. Salah satu stimulus yang diberikan, tax holiday.

“Perusahaan batu bara, nikel, segala macam itu dimanja sekali, mereka dapat tax holiday. Mereka ekspor tidak kena bea keluar, tidak kena macam-macam,” ungkap Faisal.

Hal seperti ini yang seharusnya dikaji lagi oleh pemerintah. Sayang, pemerintah lebih memilih jalan yang mudah.

“Pemerintah memilih jalan pintas, paling mudah menaikkan PPN. Korporasi besar, kelas menengah atas tidak mau diganggu. Jadi sudah cari gampang, karena PPN pendapatan terbesar perpajakan,” tegasnya.

Bila kenaikan PPN benar-benar terjadi pada 2022, maka dampaknya akan langsung terasa pada tahun tersebut. Berdasarkan hitung-hitungan kasar Faisal, kebijakan ini berpotensi mengurangi pertumbuhan ekonomi sekitar 0,03 persen.

“Ini kasar, misalnya konsumen mengurangi belanja 5 persen. Nah, 5 persen kali dengan sumbangan konsumsi masyarakat ke PDB misalnya 60 persen. Lalu, 60 persen kali 5 persen, jadi 0,03 persen. Itulah penurunan PDB,” kata Faisal.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengkaji rencana kenaikan tarif PPN.

Kepala Subdit (Kasubdit) Humas Direktorat P2P DJP Ani Natalia menuturkan skema pertama ialah tarif tunggal (single-tariff). Artinya, hanya ada satu tarif yang berlaku untuk pungutan PPN.

Saat ini, sistem PPN di Indonesia masih menganut skema single-tariff, yakni sebesar 10 persen.

Ani menuturkan pemerintah masih memiliki ruang kenaikan PPN hingga 15 persen seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

(*/lk)

Komentar