JurnalPatroliNews – Jakarta – Badan Narkotika Nasional (BNN) menegaskan bahwa peluang penelitian terhadap ganja untuk keperluan medis bukan berarti Indonesia akan melegalkan tanaman tersebut. Penegasan ini disampaikan langsung oleh Deputi Hukum dan Kerja Sama BNN, Irjen Pol. Agus Irianto, yang menekankan bahwa langkah ini bersifat terbatas dan sangat terkontrol.
“Penelitian hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang memiliki reputasi ilmiah tinggi dan fasilitas laboratorium yang memenuhi standar, seperti Universitas Indonesia, UGM, dan ITB,” kata Agus di Jakarta, Kamis (19/6).
Ia menyebutkan bahwa BNN akan berperan sebagai pusat laboratorium nasional untuk memastikan akurasi, pengawasan, serta kendali mutu dalam pelaksanaan riset tersebut.
Pernyataan ini juga ditegaskan kembali saat Agus berbicara dalam forum dialog bersama mahasiswa di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Sabtu lalu. Ia menjelaskan bahwa meskipun WHO telah menurunkan klasifikasi ganja dari Schedule IV (zat tanpa manfaat medis dan berbahaya) ke Schedule I (zat dengan potensi medis namun rawan disalahgunakan), Indonesia tetap tidak serta-merta mengikutinya.
“Perubahan klasifikasi itu membuka celah untuk penelitian, bukan untuk dilegalkan secara umum,” tegas Agus.
Ia juga mengungkapkan bahwa beberapa negara yang telah melegalkan ganja seperti Thailand dan negara bagian di Amerika Serikat justru mengalami lonjakan kasus kejahatan, yang menurutnya harus menjadi pelajaran penting.
Berdasarkan data BNN, ganja lokal di Indonesia memiliki kandungan THC yang tinggi, yaitu di atas 15 persen. Kandungan tersebut lebih sesuai digunakan untuk rekreasi, bukan pengobatan.
Agus menambahkan, obat-obatan sintetis berbasis ganja seperti Marinol dan Epidiolex hanya memberikan efek penghilang rasa sakit dan belum terbukti menyembuhkan penyakit berat seperti kanker atau epilepsi.
“Belum ada bukti ilmiah yang sahih bahwa ganja bisa menyembuhkan penyakit tertentu,” ungkapnya.
Terkait gugatan judicial review terhadap UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, Agus menjelaskan bahwa seluruh permohonan telah ditolak. MK menilai undang-undang tersebut sudah memberikan kepastian hukum dan ruang yang cukup bagi riset ilmiah.
Meski demikian, Mahkamah turut mendorong adanya kajian lebih lanjut terhadap narkotika Golongan I, termasuk ganja, demi memperkuat kebijakan berbasis sains di masa depan.
“BNN siap membuka ruang penelitian ganja untuk kepentingan medis secara terbatas dan terkendali,” pungkas Agus.
Komentar