Sebagai perbandingan, Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. UU No. 20 Tahun 2001 memberikan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.
Hakim tampaknya lebih banyak menitikberatkan pada hal-hal yang meringankan, seperti sikap sopan terdakwa di pengadilan dan status mereka sebagai kepala keluarga.
Sementara itu, dampak sosial dan ekonomi dari korupsi yang mereka lakukan diabaikan. Hal ini menunjukkan adanya bias dalam pengambilan keputusan yang kurang memperhatikan tujuan utama pemberantasan korupsi, yakni memberikan efek jera dan melindungi kepentingan masyarakat.
Banding sebagai Upaya Memperbaiki Ketidakadilan
Boyamin Saiman mendesak Kejaksaan Agung untuk mengajukan banding atas putusan ini. Langkah tersebut penting, mengingat vonis ringan seperti ini dapat menjadi preseden buruk dalam penanganan kasus korupsi di masa mendatang.
Dalam sistem hukum pidana, banding adalah salah satu mekanisme untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat.
Kewajiban jaksa untuk mengajukan banding juga sejalan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Dalam negara hukum, prinsip keadilan harus menjadi dasar dalam setiap keputusan, termasuk dalam perkara pidana korupsi.
Implikasi pada Penegakan Hukum dan Kepercayaan Publik
Vonis ringan dalam kasus korupsi tambang timah ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Ketika vonis yang dijatuhkan tidak mencerminkan rasa keadilan, masyarakat dapat kehilangan keyakinan bahwa hukum benar-benar dijalankan untuk melindungi kepentingan umum.
Komentar