“Reformasi sebagai bahasa lain dari “bing-bang politik” (Demokrasi multipartai sekaligus Desentralisasi secara radikal) dikawinkan dengan ekonomi neoliberalisme berbasis “Washington Consensus”. Sementara secara Sosio-Cultural, marak praktik neo-Feodalisme yg diwujudkan dalam praktek “bad Governance” baik di pusat maupun daerah (di Parlemen, Pemerintah, Peradilan, korporasi, bahkan dalam masyarakat).” Katanya.
Transformasi masyarakat Demokrasi membutuhkan proses, secara normal Indonesia baru dimulai tahun 2004, Eropa butuh 250 tahun, AS 150 tahun, Jepang 100 tahun, dan Korea 75 tahun.
“Organisasi Islam NU, Muhammadiyah, Persis merupakan cikal bakal civil society dan membawa Islam moderat yang rahmatan lil alamin, memberikan warna kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.” paparnya.

Perkembangan politik dan kebebasan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan kondisi dan kualitas demokrasi Indonesia mengalami kemunduran dan berorientasi pada prosedural semata, oleh sebab itu perlu diperkuat kembali demokrasi substantif.
“Dalam rangka menuju demokrasi substantif tersebut, perlu dilakukan revisi Undang-Undang (UU) Parpol. Parpol harus dibiayai APBN dan benar-benar bersih dan tidak korupsi karena sudah dibiayai oleh APBN. Revisi UU Perekonomian, yakni UU Bank Indonesia, Perbankan, Pasar Modal, Lalu Lintas Devisa, Hilirisasi SDA dan ada Payung UU Perekonomian Nasional.“ lanjutnya.
Ia juga menyarankan pentingnya mengembalikan peran KPK sebagai lembaga anti korupsi yang independen, kredibel dan profesional tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.
Komentar