Gelombang Pencabutan Visa Mahasiswa Asing di AS: Protes Gaza Berujung Deportasi

JurnalPatroliNews – Jakarta – Ketika ribuan mahasiswa turun ke jalan dan memenuhi kampus-kampus ternama di Amerika Serikat sepanjang tahun 2024 untuk menyuarakan dukungan terhadap Palestina, mereka tak membayangkan bahwa aksi solidaritas itu akan berbuntut panjang. Kini, ratusan dari mereka menghadapi kenyataan pahit: visa belajar mereka dicabut, bahkan sebagian terancam dideportasi.

Sejak Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2025, gelombang kebijakan keras terhadap mahasiswa internasional mulai terlihat. Dilansir dari Al Jazeera menyebutkan bahwa pencabutan visa menyasar para mahasiswa yang ikut serta dalam aksi protes pro-Palestina. Tak hanya peserta aksi, mereka yang sekadar menunjukkan dukungan terhadap Gaza di media sosial juga ikut menjadi target.

Pemerintahan Trump berdalih, langkah ini diambil untuk menindak tegas penyebaran paham anti-Semitisme dan simpati terhadap kelompok ekstremis seperti Hamas. Tuduhan tersebut ditolak mentah-mentah oleh para mahasiswa, pengacara hak asasi manusia, dan sejumlah aktivis. Mereka menilai langkah ini sebagai bentuk pembungkaman politik yang menyasar warga asing.

Kasus pencabutan visa tak hanya terjadi pada mahasiswa yang ikut protes. Beberapa lainnya dilaporkan kehilangan izin tinggal hanya karena pelanggaran kecil seperti tilang atau kesalahan administratif.

Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengungkapkan pada akhir Maret bahwa sekitar 300 visa mahasiswa telah dicabut. Namun, angka di lapangan menunjukkan situasi yang jauh lebih masif.

Asosiasi Pengacara Imigrasi Amerika (AILA) menyatakan bahwa lebih dari 4.700 mahasiswa internasional telah dikeluarkan dari sistem SEVIS (Student and Exchange Visitor Information System), database imigrasi yang dikelola oleh US Immigration and Customs Enforcement (ICE).

Data yang lebih konservatif dari National Association of Foreign Student Advisers (NAFSA) menunjukkan, setidaknya 1.400 pelajar tengah menghadapi proses deportasi hingga 17 April 2025. Sementara itu, Inside Higher Ed media pendidikan tinggi berbasis di AS melaporkan bahwa 1.489 pelajar sudah kehilangan visanya pada tanggal yang sama.

Kondisi ini menimbulkan keprihatinan luas di kalangan akademisi dan organisasi hak asasi manusia. Banyak yang menilai langkah ini sebagai bagian dari agenda politik yang semakin mempersempit ruang gerak mahasiswa internasional dan menciptakan iklim ketakutan di lingkungan pendidikan tinggi AS.

Meski demikian, pemerintah Trump tetap bergeming. Pencabutan visa terus berlanjut, sementara para mahasiswa asing yang dulu datang membawa harapan kini dihadapkan pada ketidakpastian nasib dan kehilangan tempat belajar yang telah mereka perjuangkan.

Komentar