Kementeria ESDM : BPP Listrik PLN Diperkirakan Turun Rp 42 Triliun

JurnalPatroliNews – Jakarta, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik tahun ini turun sekitar Rp 41,91 triliun menjadi Rp 317,12 triliun dari target dalam APBN 2020 awal sebesar Rp 359,03 triliun.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi mengatakan penurunan BPP ini sebagai dampak dari berubahnya realisasi empat parameter dalam asumsi makro sektor energi dan juga penurunan harga energi primer seperti minyak, batu bara dan gas.

Hendra menjelaskan berdasarkan APBN tahun 2020 awal, total BPP diperkirakan sebesar Rp 359,03 triliun, dengan alokasi subsidi sebesar Rp 54,79 triliun. Lalu pada APBN perubahan kedua 2020 total BPP menjadi 317,12 triliun dan subsidi sebesar Rp 51,84 triliun. Dari perubahan asumsi makro dan turunnya harga energi primer ini membuat BPP listrik lebih hemat sebesar Rp 41,91 triliun dan biaya bahan bakar lebih rendah sebesar Rp 37,51 triliun.

Namun untuk perubahan besaran subsidi tersebut belum termasuk dengan alokasi tambahan subsidi dalam rangka stimulus pemulihan dampak Covid-19 bagi 33,64 juta pelanggan yang mencapai Rp 15,39 triliun.

“BPP listrik turun Rp 41,91 triliun dari APBN yang ditetapkan di awal bahwa BPP PLN itu ongkosnya Rp 359 triliun. Karena dengan berbagai penurunan asumsi makro dan harga energi primer itu, maka BPP listrik menjadi Rp 317 triliun,” jelasnya dalam wawancara khusus bersama rekan media, Senin, (07/09).

Dia menjelaskan penurunan BPP sebagai dampak dari berubahnya empat parameter utama asumsi makro seperti nilai tukar (kurs), harga minyak mentah Indonesia (ICP), inflasi, dan harga batu bara. Dia memaparkan, berdasarkan evaluasi selama Mei-Juli, kurs berada di sekitar Rp 14.561,52 per US$, ICP US$ 34,33 per barel, Inflasi 0,05%, dan harga batu bara di sekitar US$ 55,42 per ton. Selain itu, harga gas juga telah diturunkan rata-rata menjadi US$ 6,3 per MMBTU dari asumsi sebelumnya US$ 8,39 per MMBTU.

“Itu sangat signifikan untuk BPP. Selain karena empat parameter turun, harga gas juga turun,” ujarnya.

Selain dari dampak turunnya harga energi primer dan parameter asumsi makro, dia menuturkan masih ada beberapa hal lainnya yang masih bisa dikontrol oleh PLN seperti efisiensi pembangkit, susut (losses) jaringan yang harus ditekan, serta bauran energi bahan bakar minyak (BBM) yang harus semakin dikurangi.

“Karena subsidi dan BPP turun, makanya ini merupakan penghematan bagi keuangan negara. Tapi pemerintah memang menambah stimulus melalui subsidi karena pemerintah concern (peduli) terhadap upaya pemulihan ekonomi nasional,” jelasnya.

Berdasarkan data dari PT PLN (Persero), BPP pada kuartal ketiga 2020 ini antara lain mencapai Rp 1.530 per kWh untuk tarif tegangan rendah, Rp 1.258 per Kwh untuk tegangan menengah, dan Rp 1.167 per kWh untuk tegangan tinggi. Angka ini turun dibandingkan pada kuartal kedua di mana untuk tegangan rendah sebesar Rp 1.533 per kWh, tegangan menengah Rp 1.261 per kWh dan dan tegangan tinggi Rp 1.170 per kWh.

Bob Saril, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, pada kesempatan yang sama menuturkan BPP pada kuartal pertama tahun ini rata-rata mencapai Rp 1.394 per kWh, lalu pada Juni turun menjadi Rp 1.368 per kWh, dan Juli turun menjadi Rp 1.364 per kWh.

Namun demikian, menurutnya, selain karena didukung adanya penurunan harga energi primer, namun menurutnya perseroan juga akan terus berusaha menekan BPP melalui peningkatan penjualan listrik. Dengan demikian, lanjutnya, fix-cost (biaya tetap) dalam penyediaan listrik juga bisa semakin kecil.

“Kalau penjualan PLN meningkat, tentu saja biaya pokok penyediaannya akan semakin berkurang karena fix-cost berkurang. Dengan pertumbuhan ekonomi, akan ada efek domino yang kita rasakan. PLN siap amankan semua kebijakan pemerintah,” jelasnya kepada rekan media, Senin (07/09/2020).

(lk/cnbc)

Komentar