Apa yang kita lihat dari kasus ini sebenarnya bukan hal yang luar biasa. Apa yang Bpk. Budi Suryanto lakukan itu adalah sikap yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin di level apapun juga. Masalahnya, bangsa ini sudah mengalami krisis kepempiminan. Tidak perlu lagi dijabarkan secara panjang lebar, karena kita semua sudah memahami apa yang terjadi di negeri ini yang semakin hari semakin dikuasai pemimpin yang koruptif, dan dikemas dengan berbagai balutan yang manis dan ideal.
Bahkan dengan keberhasilan pengelolaan Mandalika yang bisa dijalankan secara apikpun masih dihantam dengan berbagai serangan asimetris seperti salah satunya beredar video tiktok berdurasi pendek yang menampilkan masyarakat Mandalika yang sedang bertahan dari penggusuran lahan oleh aparat untuk pembangunan sirkuit, seolah mereka dizalimi pemerintah. Padahal kejadian itu sebelum persoalan selesai, dan masalah tersebut adalah permasalahan dengan perusahaan pengelolanya Konsep Musyarawah Budi Suryanto dalam Penyelesaian Kasus Lahan Mandalika
Dalam beberapa hari ke belakang, nama Mandalika mencuat di berbagai media, baik media online maupun media mainstream seperti televisi dan media cetak. Tentu saja hal tersebut merupakan sebuah prestasi dari penyelenggara negara ini, pasalnya lahan tersebut berbalut konflik selama 29 tahun.
Selesainya carut marut tanah tersebut merupaka kerja keras para birokrat serta aparat, dan yang terpenting adalah peran para tokoh masyarakat yang telah melegowokan hatinya, yang notabene mereka ini berada dalam pusaran persengketaan yang berkepanjangan.
Selesainya kasus ini dan berbuah manis ketika diadakan ratas, atau rapat terbatas dengan menghadirkan beberapa pihak kunci terkait permasalahan ini. Namun kita perlu telusuri perjalanan panjang yang tidak banyak orang ketahui adalah proses penyelesaian masalah yang diselenggarakan secara tradisional dan berada dalam jalur moral Pancasila, yaitu musyawarah untuk mufakat.
Jika kita telusuri ke belakang, dimana kasus ini sedang memanas, institusi yang berwenang terhadap masalah ini adalah Kantor Wilayah BPN Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sebenarnya apa yang terjadi pada waktu itu sehingga carut marut berkepanjangan bisa selesai?
Sebagai orang Indonesia rumpun Melayu, kita bisa berkaca pada peribahasa “Di mana adat diisi, di situ lembang dituang”, artinya, kita harus pandai dan cerdas menyesuikan diri kita dengan lingkungan kita berada, apalagi kita adalah manusia Indonesia yang multikultur, sehingga sangat penting bagi kita untuk menghormati perbedaan suku, ras, dan agama, di mana pun kita berada.
Tentunya dalam penyelesaian kasus tersebut kita harus menelisik figur kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Nusa Tenggara Barat pada saati itu, yaitu Bpk Budi Suryanto, SH, MSi, CN, yang kini menjadi Widyaiswara Utama di Kementerian ATR/BPN. Tugas yang tidak ringan, dimana peran beliau mendidik dan membentuk aparat BPN yang profesional dan berintegritas, serta bekerja dengan hati. Dengan hati adalah kata kunci, karena pekerjaan yang menyangkut pertanahan merupakan salah satu pekerjaan yang “menggiurkan” dan berpotensi mencari keuntungan secara ilegal.
Menilik pola kerja Bpk Budi Suryanto kala itu sangat menarik untuk dibahas, karena beliau melakukan pendekatan kultural dengan tokoh masyarakat, tokoh adat, maupun tokoh agama setempat, berikut dengan aparat, sehingga apa yang menjadi kemauan masyarakat dapat semua diakomodir. Tentunya hal ini membutuhkan “kelegowoan” atau kelegaan hati masing-masing pihak, sehingga semua keinginan bisa terwujud, meskipun ada yang direduksi demi mencapai kata sepakat.
Secara psikologis, konsep ini sangat baik diterapkan di berbagai pola sengketa pertanahan yang melibatkan beberapa pihak. dengan hadirnya pihak-pihak yang ada, tentunya akan timbul sikap senasib dan sepenanggungan, sehingga tidak terlalu suilt untuk mengajak masing-masing pihak agar mengalah dalam beberapa hal demi tercapai kesepakatan yang bermanfaat bagi semua pihak, tanpa konflik.
Pesan moral dari sikap kepemimpinan Bpk Budi Suryanto dalam menyelesaikan konflik pertanahan ini adalah sikap “Nguwongke Wong” atau Memanusiakan Manusia, dimana seorang pemimpin harus mendengarkan keluh kesah masyarakat yang dipimpinnnya. Pemimpin tidak boleh bersikap hanya ingin didengar tapi tidak mau mendengar. Kemudian mengumpulkan pihak-pihak tersebut untuk bermusyawarah dalam mencapai kata mufakat, dan ini merupakan cerminan pemimpin Pancasila karena bersumber dari sila ke 4.
Apa yang kita lihat dari kasus ini sebenarnya bukan hal yang luar biasa. Apa yang Bpk. Budi Suryanto lakukan itu adalah sikap yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin di level apapun juga. Masalahnya, bangsa ini sudah mengalami krisis kepempiminan. Tidak perlu lagi dijabarkan secara panjang lebar, karena kita semua sudah memahami apa yang terjadi di negeri ini yang semakin hari semakin dikuasai pemimpin yang koruptif, dan dikemas dengan berbagai balutan yang manis dan ideal.
Bahkan dengan keberhasilan pengelolaan Mandalika yang bisa dijalankan secara apikpun masih dihantam dengan berbagai serangan asimetris seperti salah satunya beredar video tiktok berdurasi pendek yang menampilkan masyarakat Mandalika yang sedang bertahan dari penggusuran lahan oleh aparat untuk pembangunan sirkuit, seolah mereka dizalimi pemerintah. Padahal kejadian itu sebelum persoalan selesai, dan masalah tersebut adalah permasalahan dengan perusahaan pengelolanya.
Apapun itu, perbuatan baik tidak selalu mendapat balasan baik. Artinya, butuh perjuangan dan keteguhan hati dalam menjalankan kebaikan itu. Semoga di negeri ini masih ada pempimpin yang mempunyai integritas dan keberanian bekerja dengan hati. Karena menjadi pemimpin di Indonesia harus mempunyai kesiapan mental dan moral, serta memiliki wawasan kebangsaan yang kuat, bersahaja dan membumi, sekaligus mempunyai sikap toleransi dan tenggang rasa
Komentar