Sebab itu, Masinton mengatakan, maka tiga hal yang diramal sejak Juni 2022, dan muncul putusan MK tersebut dianggap sebagai keputusan yang melanggar undang-undang. “Saya membacanya adalah putusan inkonstitusionalitas,” tutur dia.
Menurut dia, putusan MK yang dianggap memberikan jalan Gibran, yang kini diusung Partai Golkar sebagai cawapres Prabowo, tidak berbasis pada pertimbangan konstitusi lagi.
“Itu tadi, persoalan nepotisme,” ujarnya. “Saya tidak membicarakan ini persoalan dinasti atau apa. Tapi nepotisme.”
Nepotisme itu, dia mengatakan, adalah suatu tindakan yang tentang di masa Reformasi 1998. Reformasi itu melahirkan aturan yang mengatur soal korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN. Dia menegaskan, adanya putusan tersebut memperlihatkan situasi buruk terhadap demokrasi.
“Kita harus melawan cara-cara inkonstitusionalitas. Kalau ini diselenggarakan dengan memaksakan tangan-tangan kekuasaan tadi, apa artinya demokrasi? Apa artinya pemilu?” tutur dia.
Salah satu cara mengalahkan campur tangan kekuasaan dalam konstitusi, Masinton berujar, gerakan ekstra-konstitusional.
Menurut dia, publik harus menjaga dan mengawal proses demokrasi ini melalui pemilu. Pemilu bukan sekadar proses menang-kalah.
Namun pemilihan adalah proses menjalankan konstitusi yang di dalamnya sudah disepakati proses pengelolaan bangsa dan negara.
“Jadi ini urusan tentang penolakan rakyat. Bukan kedaulatan keluarga,” ucap anggota Dewan Perwakilan Rakyat, itu.
Komentar