JurnalPatroliNews – Lombok Tengah – Kasus pernikahan dini pasangan remaja di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), kini berbuntut panjang. Orang tua kedua mempelai beserta pihak-pihak yang terlibat dalam prosesi pernikahan tersebut dilaporkan ke pihak berwajib oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram.
Pasangan yang menjadi sorotan adalah SMY, seorang siswi SMP berusia 15 tahun asal Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, dan SR, siswa SMK berusia 17 tahun dari Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah.
Laporan resmi diajukan ke Polres Lombok Tengah pada Sabtu, 24 Mei 2025. Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi, menyatakan bahwa pelaporan ini ditujukan kepada semua pihak yang dianggap terlibat dalam penyelenggaraan pernikahan di bawah umur tersebut.
“Kami melaporkan siapa pun yang memfasilitasi pernikahan ini. Bisa orang tuanya, bisa juga penghulu yang menikahkan,” ujar Joko saat berada di kantor polisi, seperti dilansir dari Detik.com, Minggu (25/5).
Pernikahan pasangan remaja ini sebelumnya viral di media sosial setelah video prosesi adat nyongkolan beredar luas. Dalam video tersebut, sang pengantin perempuan terlihat ditandu sambil berjoget menuju pelaminan, memicu berbagai komentar publik, terutama soal usia dan perilakunya.
Joko menegaskan bahwa pihaknya belum dapat mengambil kesimpulan tentang kondisi mental atau psikologis sang mempelai perempuan. Ia mengatakan, hal tersebut memerlukan pemeriksaan medis lebih lanjut sebagai bagian dari proses penyelidikan.
“Kami tidak bisa langsung menyimpulkan apa pun. Semua harus melalui tahapan pemeriksaan profesional dari pihak medis yang berwenang,” ucapnya.
Lebih lanjut, Joko mengungkapkan bahwa rencana pernikahan ini sebenarnya sudah muncul sejak April 2025. Bahkan, sempat terjadi percobaan kawin lari yang berhasil digagalkan oleh aparat desa. Namun, sepekan kemudian, upaya pernikahan kembali dilakukan dan akhirnya dilangsungkan pada bulan Mei.
“Sudah ada tanda-tanda sejak April. Upaya pertama digagalkan, tapi keluarga tetap mencari celah hingga akhirnya pernikahan terjadi juga,” jelasnya.
Meski perangkat desa dari kedua belah pihak disebut telah berusaha menghentikan rencana tersebut, tekanan dari keluarga tetap menjadi faktor utama yang membuat pernikahan itu berlangsung.
“Baik kepala desa maupun kepala dusun sudah mencoba mencegah, tapi keluarga tetap memaksa,” tambah Joko.
Komentar