PKB Sindir MK Seolah Jadi “Lembaga Legislasi Ketiga” Usai Putusan Pemilu Serentak

JurnalPatroliNews – Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menuai kritik tajam dari kalangan legislatif setelah menerbitkan putusan terbaru terkait penyelenggaraan pemilu serentak nasional dan lokal. Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhammad Khozin, menyindir MK telah beralih peran dari penjaga konstitusi menjadi lembaga pembentuk undang-undang baru di luar DPR dan pemerintah.

“MK itu seharusnya bertindak sebagai negative legislator, bukan malah ikut menyusun undang-undang. Kalau begini, MK seakan menjadi institusi ketiga dalam proses legislasi nasional,” ujar Khozin, Sabtu, 5 Juli 2025.

Pernyataan itu disampaikan merespons putusan MK nomor 135/PUU-XXII/2025 yang mengatur keserentakan pemilu nasional dan daerah. Menurut Khozin, langkah MK ini justru bertolak belakang dengan putusan sebelumnya, yaitu putusan nomor 55/PUU-XVII/2019, yang menyatakan bahwa desain keserentakan pemilu merupakan kewenangan legislator, bukan ranah MK.

Khozin menilai adanya inkonsistensi tersebut berisiko menimbulkan kebingungan hukum dan membuka celah bagi pihak-pihak tertentu untuk menolak sahnya produk perundang-undangan.

“Kalau begini terus, masyarakat bisa saja menolak undang-undang hanya karena celah putusan MK. Padahal penyusunan UU memerlukan sumber daya besar biaya, waktu, hingga energi politik,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan pentingnya menegaskan kembali batas wewenang MK agar tak melewati mandat konstitusionalnya. Bila memang MK ingin memainkan peran aktif dalam pembentukan undang-undang, menurut Khozin, maka perlu dilakukan rekayasa konstitusi atau penataan ulang wewenang MK secara formal.

Terkait substansi putusan, PKB memandang bahwa penerapan putusan 135/2025 tidak bisa langsung dilaksanakan pemerintah karena berpotensi bertabrakan dengan norma-norma konstitusi yang sudah ada, seperti Pasal 22E ayat 1 dan 2 serta Pasal 18 ayat 3 UUD 1945. Pasal-pasal tersebut mengatur bahwa pelaksanaan pemilu dilakukan lima tahun sekali dan memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah.

“Implementasi putusan ini tidak bisa dilakukan secara serta-merta karena dapat memunculkan pelanggaran konstitusional dalam pelaksanaannya,” tutup Khozin.

Komentar