JurnalPatroliNews – Jakarta – Presiden terpilih Korea Selatan, Lee Jae Myung, menyatakan komitmennya untuk menjalin hubungan yang lebih harmonis dengan Korea Utara. Dalam pidato kemenangan usai diumumkan sebagai pemenang pemilu, Lee menegaskan tekadnya membangun komunikasi aktif dengan Pyongyang.
“Di tengah upaya memperkuat pertahanan nasional sebagai langkah antisipasi terhadap potensi ancaman dari Utara, saya juga berpegang pada prinsip bahwa menjaga perdamaian lebih penting daripada memenangkan peperangan,” kata Lee seperti dilansir Yonhap, Selasa (3/6/2025).
Ia menekankan bahwa Korea Selatan dan Korea Utara perlu menjalin hubungan yang saling mendukung demi mencapai kemakmuran bersama. “Saya bertekad menciptakan stabilitas di Semenanjung Korea agar rakyat tidak terbebani oleh ketegangan politik dan militer yang berkepanjangan,” lanjutnya.
Selama masa jabatan presiden sebelumnya, Yoon Suk Yeol, relasi antar-Korea memburuk tajam. Yoon mengambil pendekatan keras terhadap Korea Utara, yang menyebabkan terputusnya kerja sama militer dan meningkatnya intensitas latihan perang bersama Amerika Serikat hal yang sangat dibenci oleh Pyongyang.
Perjanjian Militer Komprehensif yang ditandatangani tahun 2018, dan bertujuan mengurangi potensi konflik di perbatasan, dihentikan sebagian pada akhir 2023 setelah peluncuran satelit mata-mata oleh Korea Utara. Kemudian, perjanjian itu dibatalkan sepenuhnya pertengahan 2024, menyusul aksi Korea Utara yang menerbangkan balon sampah ke wilayah Selatan.
Lee Jae Myung diperkirakan akan menghidupkan kembali semangat dialog yang sempat tumbuh di era Presiden Moon Jae In, yang menjabat dari 2017 hingga 2022. Selama masa pemerintahannya, Moon berhasil mengadakan tiga pertemuan bersejarah dengan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un, dan menghasilkan kesepakatan militer yang signifikan.
Menurut analis senior di Institut Unifikasi Nasional Korea, Hong Min, pendekatan Lee meski tidak identik dengan Moon, cenderung akan mengarah pada diplomasi aktif untuk mencairkan suasana.
Meskipun Lee membuka pintu dialog, banyak pengamat menilai jalur menuju rekonsiliasi akan penuh rintangan. Korea Utara kini telah menegaskan Korea Selatan sebagai musuh utama dan secara resmi mencoret ide penyatuan dari kebijakan nasionalnya.
Pyongyang juga terus memperkuat kemampuan militer, termasuk senjata nuklir dan kapal selam bertenaga nuklir yang diduga mendapat bantuan dari Rusia. Hubungan erat antara Korea Utara dan Moskow bahkan melibatkan pengiriman pasukan ke medan perang Ukraina.
Hong Min memprediksi bahwa Presiden Lee akan memulai dengan langkah-langkah diplomatis yang tidak menimbulkan kontroversi besar, seperti melarang pengiriman selebaran ke Korea Utara, memulihkan sebagian pakta militer yang ditangguhkan, serta menyampaikan pesan damai dalam momen-momen simbolik seperti Hari Kemerdekaan Korea pada 15 Agustus.
Meski demikian, para analis sepakat bahwa membujuk Korea Utara untuk kembali ke meja perundingan—terutama terkait program nuklir bukan tugas ringan, bahkan mungkin mustahil dilakukan dalam satu periode pemerintahan.
Komentar