Belum siapnya ‘Tool” yang memadai yang bisa digunakan sebagai hukum dasar dalam pembikinan UU dan turunannya sebagai “rule of the law” dan “rule of engagement” oleh Bung Karno dan juga Pak Harto kemudian disiasati dengan mengadopsi “tool” dari paham lain tanpa terlebih dahulu disesuaikan dengan budaya bangsa, dan sebagian lagi baru sebatas gagasan elit berkuasa semata, yang kemudian distempel dengan sebutan Demokrasi Terpimpin (Era Bung Karno); Demokrasi Pancasila dan juga Ekonomi Pancasila (Era Orba). Dari fakta sosial yang seperti itu, kita tahu diera Bung Karno sendiri, Koes Plus dipenjara hanya karena “menyanyi”. Sementara sejak era Orba hingga saat ini, masyarakat Adat seperti Samin, Badui, Tengger dan lain-lainnya yang keberadaannya di bumi Nusantara jauh lebih dahulu sebelum NKRI lahir, tidak bisa memiliki KTP, kecuali dengan memalsukan data Agama. Dan belum lagi bukti sejarah yang memilukan akibat pendholiman negara terhadap rakyatnya sendiri dengan stigma politik Ekka, Ekki dan Ekla, dengan jumlah korban yang tidak kecil, tapi semuanya itu konstitusional dan juga sah menurut hukum.
UUD-1945 yang asli juga asistemik, karena rangkaian sub-sub sistem kenegaraan yang tertuang didalamnya belum merupakan sebuah rangkaian yang saling mengkait dan bersinerji satu dengan lainnya dalam sebuah totalitas. Berangkat dari rumusan dalam perencanaan pembangunan versi UUD 1945 yang asli malah menggunakan model GBHN, padahal model GBHN hanya mungkin diterapkan dalam negara dengan 1 Partai yang hingga saat ini konsep tersebut hanya dikenal hanya pada sistem negara komunis. Disisi lain, model GBHN yang kandungannya berisi Rencana Pembangunan Jangka Pendek (5 Tahun), Sedang (10-15 Tahun) dan Panjang (25 Tahun) yang mustahil bisa diterapkan dalam negara demokrasi yang menempatkan Pemilu sebagai sarana kontrak sosial dalam pembentukan Pemerintahan, karena dalam Pemilu potensial terjadinya pergantian Rezim berkuasa yang beda ideologi. Bukankah janji politik Calon Presiden dalam kampanye Pemilu, wajib dilaksanakan sebagai program Pemerintah yaitu manakala dirinya tampil sebagai Pemenang Pemilu. Adalah mustahil kalau janji Pemilu termaksud harus dinegasikan oleh Rencana Pembangunan Jangka Sedang dan Panjang bikinan Rezim terdahulu yang beda “ideologi” dan atau cita-cita.
Lebih nyata pada UUD hasil 4 kali amandemen, karena dalam melakukan 4 kali Amandemen tidak didahului dengan perubahan “Platform” kenegaraan dari otoriter menjadi demokrasi, tapi langsung menukit ke perubahan Pasal-Pasal, maka jiwa dan semangat yang otoriter, serta rumusan batang tubuh yang akonstitutif dan asistemik masih terus berlanjut. Hal ini bisa dibuktikan antara lain dalam rumusan sistem demokrasi, dimana Pemilihan Presiden dilakukan secara langsung oleh Rakyat, artinya sistem yang dipilihnya adalah Demokrasi dengan Sistem Presidensial. Tapi, Lembaga DPR yang dirancangnya adalah model DPR pada sistem Parlementer, dimana kedudukan Anggota DPR adalah Wakil Partai, bukan Wakil Rakyat sebagai prasyarat untuk lahirnya kondisi “chek and balance” dalam sistem Presidensial.
UUD Yang Ber “DNA” Pancasila Sebagai “Condition Sine Qua Non”.
Berangkat dari kesemrawutan sistem kenegaraan yang kita terapkan sejak awal berdirinya NKRI, sungguh “absurd” kalau kita berharap terbentuknya “ahklaq mulia” para penyelenggara negara, terlebih elitnya. Bukanlah baik buruknya moral Penyelenggara Negara di negara manapun sangat ditentukan oleh “aturan main” yang digunakan, sama sekali tidak ada kaitan dengan tinggi rendahnya pengetahuan agama yang dimilikinya dan tampilannya yang agamais. Disanalah pentingnya bangsa ini segera melaksanakan Amanat Bung Karno untuk merumuskan UUD yang lebih sempurna tersebut diatas yang ditempuh dengan mengelaborasi nilai-nilai luhur Dasar Negara Pancasila. Lebih dari itu kelak UUD yang disusun haruslah konstitutif dan juga sistemik, dalam bentuk nilai terapan berupa “tool” yang mempunyai kejelasan serta kepastian pilihan model yang akan digunakan sebagai hukum dasar dalam tata kelola kehidupan ber bangsa dan ber negara. Lebih dari itu, rumusan “tool” termaksud haruslah teruji validitas kebenarannya baik secara keilmuan, maupun dalam praktek oleh negara lain sekalipun. Dengan demikian 270 Juta lebih anak bangsa kedepan tidak lagi dijadikan “kelinci percobaan” gagasan elit bangsa.
Untuk maksud tersebut hanyalah mungkin, manakala yang merancang dan membahasnya adalah orang ahli yang diwadahi dalam Lembaga independen (Bukan Partisan) sehingga makna “Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan” otomatis bakal terwujud, karena dalam bermusyawarah bakal dilandaskan pada basis keilmuan yang kebenarannya telah terbukti dalam praktek. Dan sudah barang tentu untuk pengesahannya tetap dilaksanakan oleh Lembaga yang berwenang yaitu MPR RI.
*Mantan Aster Kasad dan Abituren Program Pasca Sarjana S-3 IAKN Kupang.
Komentar