JurnalPatroliNews – Jakarta – Maraknya kasus penyegelan sejumlah toko swalayan di Surabaya oleh Eri Cahyadi, Wali Kota Surabaya, akibat dugaan pelanggaran aturan parkir gratis yang menjadi viral di medsos, Sekretaris Jenderal Garda Tipikor Indonesia (GTI), Dery Hartono, langsung menanggapi, soal penerapan regulasi harus dibaca secara utuh, menyeluruh, dan tidak ditafsirkan secara sepihak yang bisa menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat.
“Penerapan regulasi tidak bisa dibaca secara sepotong atau ditafsirkan sepihak, apalagi jika pelaku usaha sebenarnya telah memenuhi kewajiban dasar sebagaimana diatur dalam peraturan.” ujar Deri, Sekjen GTI, kepada JurnalPatroliNews, Senin (16/5/2025).
Lanjut Dery, dalam Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2023, memang disebutkan bahwa toko swalayan wajib menyediakan lahan parkir yang memadai dan tidak mengganggu lalu lintas. Namun ia menegaskan, aturan tersebut tidak mewajibkan toko untuk mengelola parkir sebagai unit usaha yang dikenai pungutan biaya.
“Kalau fasilitas parkir itu dibuka gratis, bahkan tanpa ada pungutan sama sekali, maka kewajiban penyediaan parkir secara prinsip sudah dipenuhi. Tidak adil jika tetap dikenai sanksi hanya karena tidak dikelola sebagai usaha komersial,” jelasnya.
Dery kemudian menyinggung Perda Nomor 3 Tahun 2018 tentang penyelenggaraan perparkiran. Menurutnya, perda tersebut berbicara dalam konteks yang berbeda, yakni tentang kegiatan usaha parkir yang memang secara khusus dikelola, berizin, dan bekerja sama dengan pemerintah.
“Pasal 4 ayat (2) menyebut bahwa pemerintah bisa bekerja sama dengan badan usaha. Artinya, kerja sama ini sifatnya sukarela dan harus ada persetujuan dua pihak. Tidak bisa dipaksakan secara sepihak,” tegas Dery.
Ia pun mengingatkan bahwa kepala daerah merupakan representasi kepercayaan rakyat yang diperoleh lewat pemilu, sehingga dalam mengambil kebijakan harus tetap berpihak pada keadilan dan semangat perlindungan terhadap masyarakat kecil dan pelaku usaha menengah.
“Jangan sampai penegakan hukum malah berubah jadi alat intimidasi. Kita hidup di era digital, di mana rekam jejak pemimpin bisa dinilai publik dari setiap langkahnya,” ujarnya serius.
Terkait maksud baik Pemkot Surabaya dalam mengatur tertib parkir, Dery menyarankan agar pendekatannya lebih humanis dan komunikatif.
“Kalau memang niatnya baik, ajaklah pengelola toko berdialog. Bukankah dalam perda sendiri sudah diatur bahwa kemitraan bisa dilakukan?” katanya.
Lebih jauh, Dery menilai jika isu sebenarnya terletak pada praktik pungli di sekitar area toko, maka solusi yang harus dilakukan adalah menyentuh akar masalah sosial.
“Yang perlu dibenahi adalah praktik premanisme, kurangnya lapangan kerja, dan minimnya edukasi masyarakat soal tata kelola parkir. Bukan malah menyalahkan toko yang sudah menyediakan lahan parkir gratis,” ujarnya menegaskan.
Di akhir wawancara, Dery menyerukan pentingnya kolaborasi antar pihak demi menciptakan solusi jangka panjang yang adil dan proporsional.
“Kita bukan sekadar menegakkan aturan, tapi juga menjaga rasa keadilan dan kepercayaan publik. Regulasi harus diterapkan dengan cara yang bijak, bukan koersif,” pungkasnya.
Komentar