Hapuskan Diskriminasi Perempuan dan Penuhi Hak Perempuan atas Pangan dan Kedaulatan Agraria

 Bagi perempuan pedesaan dan perempuan adat, akses dan hak perempuan atas tanah dan sumber daya alam dapat semakin terancam dengan dilemahkannya AMDAL serta prosedur perizinan untuk pembangunan oleh Omnibus Law.

Staf Riset dan Advokasi FIAN Indonesia, Gusti Nur Asla Shabia, menegaskan bahwa akses terhadap pekerjaan dan sumber daya produktif dari alam yang ada di sekitar perempuan merupakan prasyarat untuk hidup layak, dan ini merupakan hak perempuan atas pangan.

“Anemia dan malnutrisi sebagai permasalahan pangan dan gizi yang dialami perempuan, juga bukan kondisi yang terjadi secara langsung karena adanya kerusakan lingkungan yang masif atau tertutupnya akses mereka terhadap sumber daya produktif di desa,” terang Shabia.

“Perempuan dapat terjerumus dahulu dalam situasi penuh kerentanan dan kekerasan lainnya, seperti pernikahan dini, menjadi buruh migran, atau pekerja yang diupah rendah dengan lingkungan kerja yang toksik yang akhirnya menimbulkan masalah lanjutan berupa malnutrisi tadi.”

Selain itu, Putri Fahimatul Hasni sebagai Staf Advokasi Kebijakan Solidaritas Perempuan turut menegaskan, “Menguatnya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan terjadi secara kompleks diperparah dengan global supply chain yang memerangkap perempuan dalam situasi-situasi rentan kekerasan dan eksploitasi.”

Lapisan diskriminasi terhadap perempuan dalam menikmati hak-haknya atas sumber-sumber agraria dan pangan juga diperkuat melalui sejumlah kebijakan di tingkat  nasional. Seperti dalam UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam hanya mengakui posisi perempuan sebagai bagian dari rumah tangga nelayan. Sehingga identitas politik personalnya tidak diakui dan hanya dilekatkan pada kepala keluarganya.

Padahal perempuan memiliki banyak peran dalam rantai pangan di sektor tersebut. Hal ini semakin meminggirkan perempuan untuk memperoleh hak perlindungannya.

Komentar