Umumnya kriminalisasi dilakukan dengan pendekatan pasal menggunakan keterangan palsu berdasarkan ketentuan Pasal 266 ayat (2) KUHP dan membuat surat palsu atau menggunakan surat palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Nah, sebenarnya kata kunci dari masalah mafia tanah adalah ada pada DATA BUKTI KEPEMILIKAN AWAL TANAH. Data ini, di BPN tersimpan di Warkah. Dalam Warkah itulah, nasab atau asal usul tanah tersimpan dengan rapih, dan tak mungkin tertukar atau bergeser letak tanahnya.
Dari warkah BPN inilah, akan diketahui siapa pemilik tanah asli dan siapa perampas. Sayangnya, oknum BPN terlibat dalam lingkaran mafia tanah, selaku pihak yang menerbitkan sertifikat bodong untuk mafia yang merampas tanah. Akhirnya, pemilik tanah yang sah kehilangan hak, karena BPN secara formil berpihak kepada mafia tanah.
Dalam kasus saya ini, terbukti asal usul tanah PT SSA tidak jelas. Ada sejumlah kekacauan dalam SHGB 1633 milik PT SSA yang dibeli dari PT BMJ, dari luas tanah yang tidak konsisten, alas dasar hak tanah yang berubah-ubah, AJB dan Girik asal yang tidak tercatat, hingga perbedaan keterangan dari BPN tentang riwayat tanah tersebut.
Meski sudah diungkap oleh pengacara saya secara detail di pengadilan, namun hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat tutup mata. Hampir sama dengan polisi dan jaksa ditingkat penyidikan, hakim hanya mengacu pada berkas BAP, sementara proses BAP ada di ruang gelap.
BPN malah menjadi pelindung mafia tanah, dengan tidak membuka Warkah berdalih dokumen yang menjadi rahasia negara. Hanya bisa dibuka atas perintah penyidikan atau perintah pengadilan.
Saat penyidikan, ruang pemeriksaan Warkah menjadi gelap. Tak ada transparansi, karena yang memeriksa hanya penyidik dan petugas BPN. Padahal, ada kepentingan rakyat selalu pemilik tanah tidak dilibatkan. Sehingga, hasil penyidikan sangat subjektif. Apalagi, jika kasus yang disidik adalah kriminalisasi, kasus yang dipesan mafia tanah untuk membungkam rakyat selalu pemilik tanah yang sah.
Komentar