JurnalPatroliNews – Jakarta – Pembunuhan dan penangkapan massal warga sipil oleh rezim militer Myanmar semakin intensif. Laporan terbaru dari Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Turk, yang dirilis pada Selasa (17/9/2024)
.mengungkapkan bahwa sejak kudeta lebih dari tiga tahun lalu, sebanyak 5.350 warga sipil telah tewas di tangan militer.
Laporan ini, sebagian besar didasarkan pada wawancara jarak jauh dengan ratusan korban dan saksi karena penyelidik PBB tidak diizinkan masuk ke Myanmar, menunjukkan bahwa dari jumlah tersebut, 2.414 orang meninggal dalam periode pelaporan terakhir dari April 2023 hingga Juni 2024.
Ini menunjukkan lonjakan 50% dibandingkan periode sebelumnya, dengan ratusan kematian akibat serangan udara dan artileri.
“Myanmar sedang tenggelam dalam krisis hak asasi manusia yang mendalam,” kata James Rodehaver, kepala tim Myanmar di kantor hak asasi manusia PBB, seperti dikutip Al Jazeera pada Rabu (18/9/2024).
Rodehaver menambahkan, “Militer Myanmar telah menciptakan krisis dengan memanfaatkan sistem hukum untuk mengkriminalisasi hampir semua bentuk perbedaan pendapat terhadap upayanya untuk memerintah negara.”
Laporan PBB juga mengungkapkan bahwa hampir 27.400 orang telah ditangkap sejak kudeta, banyak di antaranya berada di pusat pelatihan militer. Beberapa di antaranya adalah anak-anak yang diambil dari orang tua mereka sebagai hukuman atas oposisi politik.
Juru bicara PBB, Liz Throssell, mengungkapkan dalam konferensi pers bahwa setidaknya 1.853 orang tewas dalam tahanan sejak kudeta, termasuk 88 anak-anak. Banyak dari mereka meninggal akibat interogasi kasar, perlakuan buruk, atau penolakan akses ke layanan kesehatan yang memadai.
Throssell menjelaskan, “Tahanan menggambarkan metode kekerasan seperti digantung tanpa makanan atau air, dipaksa berlutut atau merangkak di benda keras, serta diperkenalkan dengan hewan-hewan untuk menimbulkan rasa takut.”
Angka terbaru dari Assistance Association for Political Prisoners, sebuah kelompok hak asasi manusia yang memantau tindakan keras pascakudeta, menunjukkan bahwa sedikitnya 5.665 warga sipil telah tewas sejak kudeta. Turki juga sedang dalam proses mengonfirmasi 2.500 kematian tambahan.
Turki mengulangi rekomendasi untuk merujuk pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional. Negara tersebut juga tengah diselidiki atas tuduhan genosida terhadap minoritas Rohingya pada tahun 2017.
Sejak militer Myanmar merebut kekuasaan pada Februari 2021, menghapus pemerintahan sipil terpilih Aung San Suu Kyi, situasi semakin memburuk dengan protes jalanan yang ditumpas secara brutal.
Gerakan protes tersebut telah berkembang menjadi pemberontakan bersenjata, dengan pertempuran yang terus berlangsung di berbagai wilayah.
Komentar