Parade Militer Megah Rayakan Ulang Tahun Trump, Rakyat Melancarkan Gelombang Protes Nasional

JurnalPatroliNews – Jakarta –  Di tengah kemeriahan perayaan ulang tahun Presiden Donald Trump yang diwarnai parade militer spektakuler di Washington D.C., ribuan warga Amerika turun ke jalan di berbagai kota besar, melontarkan kritik terhadap kepemimpinan Trump dan kebijakan-kebijakan kontroversialnya.

Aksi protes yang dimotori oleh kelompok aktivis “No Kings” itu menyoroti kekhawatiran publik terhadap kebijakan imigrasi yang dinilai represif dan kecenderungan Trump memperluas kewenangan eksekutif di luar batas.

Parade yang digelar Sabtu malam, 24 Juni 2025, bertepatan dengan dua peristiwa penting: perayaan hari ulang tahun Trump dan peringatan dua setengah abad berdirinya Angkatan Darat Amerika Serikat. Ribuan prajurit, kendaraan tempur berat, dan pertunjukan kembang api memeriahkan perayaan itu, namun atmosfer meriah tersebut dibayangi oleh gelombang protes nasional yang terjadi secara serentak.

“Saya merasa demokrasi kita sedang berada di titik kritis,” kata Karen Van Trieste, seorang perawat berusia 61 tahun yang ikut berdemo di Love Park, Philadelphia. Ia menyatakan bahwa pemotongan anggaran layanan kesehatan oleh pemerintahan Trump menjadi alasan utamanya bergabung dalam unjuk rasa.

Di sisi lain negara, demonstrasi di Los Angeles berubah menjadi tegang ketika pengunjuk rasa berhadapan dengan aparat keamanan, termasuk pasukan Garda Nasional yang sebelumnya dikirim Trump ke kota itu—meski langkah tersebut mendapat penolakan keras dari Gubernur Gavin Newsom. Kerusuhan pun pecah di sekitar Gedung Federal, dengan gas air mata digunakan untuk membubarkan kerumunan.

“Kebijakan pemisahan keluarga adalah bentuk kekejaman, bukan sekadar kekeliruan,” ujar Jose Azetcla, anggota kelompok aktivis Brown Berets, dalam orasinya, mengecam keras kebijakan deportasi pemerintahan Trump yang memicu keresahan di kalangan komunitas imigran.

Walaupun pawai militer berjalan lancar dan meriah, kritik tajam dilontarkan oleh sejumlah mantan pejabat militer serta tokoh politik yang menilai parade tersebut sebagai bentuk pemborosan anggaran dan simbol kekuasaan berlebihan. Estimasi biaya penyelenggaraan acara tersebut mencapai antara 25 hingga 45 juta dolar AS.

Namun, tidak semua suara bernada negatif. Para veteran, termasuk Melvin Graves—veteran Perang Vietnam—menganggap parade ini sebagai penghormatan yang layak diberikan kepada mereka yang pernah mengabdi. “Sudah lama kami menantikan penghargaan semacam ini,” kata Graves.

Dalam pidatonya, Presiden Trump mengungkapkan rasa bangga terhadap militer AS: “Prajurit kita tidak pernah mundur. Mereka bertarung dan menang dengan gagah berani,” katanya di hadapan ribuan peserta parade.

Sementara itu, di kota-kota seperti New York, Houston, dan Philadelphia, massa demonstran mengangkat poster bertuliskan “No Kings”, sebagai bentuk penolakan terhadap gaya kepemimpinan Trump yang dianggap semakin autokratik di periode keduanya.

Di Minnesota, rencana aksi sempat terganggu setelah materi promosi demonstrasi ditemukan di mobil milik tersangka pembunuhan seorang pejabat negara bagian. Meskipun Gubernur Tim Walz mengimbau masyarakat agar tidak berpartisipasi, ribuan warga tetap berkumpul untuk menyuarakan protes.

Terlepas dari kontroversi tersebut, survei CBS/YouGov menunjukkan bahwa 54% responden masih mendukung kebijakan imigrasi Trump. Namun, bagi banyak warga lainnya, aksi “Hari Tanpa Raja” adalah peringatan bahwa prinsip demokrasi Amerika kini tengah menghadapi ujian berat.

Komentar