Termasuk RI Kena Imbas Jika Terjadi Perang Terbuka, Pimpinan MPR Angkat Bicara Soal Sengketa Laut China Selatan

JurnalPatroliNews-Jakarta – Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan angkat bicara soal konflik Laut China Selatan. Ia menjelaskan masalah ini bermula dari klaim China atas Laut China selatan berdasarkan sejarah perikanan tradisional China yang dikenal dengan nama 9 garis putus-putus (nine dash line).

“Klaim tersebut bersinggungan dengan Wilayah Teritorial, Landas Kontinental, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara lain sehingga menimbulkan konflik,” jelas Syarief dalam keterangannya, Kamis (18/6/2020).

Hal itu diucapkannya dalam Webinar yang dilaksanakan oleh Asosiasi Profesor Indonesia (API) dalam rangka merespon situasi keamanan Laut China Selatan di tengah pandemi COVID-19. Webinar ini diikuti 500 orang via Zoom dan 1.500 orang via Youtube.

Menurut Syarief, padahal batas Wilayah Teritorial, Landas Kontinental, dan ZEE telah diatur dengan sangat jelas dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Internasional 1982 yang dikenal dengan istilah UNCLOS 1982.

“Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ini melalui UU No. 17 Tahun 1985, bahkan, Pengadilan Arbitrase pada 2016 lalu pun menyebutkan bahwa semua klaim China atas Laut China Selatan yang didasarkan pada alasan historis tidak benar dan bertentangan dengan UNCLOS 1982,” ujarnya.

Syarief mengatakan Laut China Selatan memang sangat strategis dan menjanjikan. Hampir 11 miliar barel potensi cadangan minyak bumi dan 190 triliun kaki kubik gas alam di dalam sana.

“Bahkan Laut China Selatan mampu menyuplai sampai 10% kebutuhan ikan global. Bukan hanya itu, nilai perdagangan yang melintasi wilayah Laut China Selatan mencapai USD 5,3 triliun atau hampir sepertiga dari seluruh perdagangan maritim global,” ujarnya

Anggota Komisi I DPR RI ini menyebutkan bahwa Indonesia harus mengambil sikap yang bijaksana melalui jalur diplomasi sebagaimana langkah yang pernah diambil di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“Indonesia harus mampu mempersatukan dan menggalang dukungan seluruh negara-negara ASEAN. Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di ASEAN sekaligus penggagas berdirinya ASEAN harus menaikkan kembali pamor ASEAN dalam penyelesaian sengketa di Laut China Selatan yang melibatkan China dan beberapa negara Asia Tenggara,” jelas Syarief.

Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini juga menjelaskan bahwa Indonesia melalui solidaritas bersama ASEAN juga harus mampu meredam masuknya kekuatan lain dalam permasalahan Laut China Selatan.

Sebab akan memunculkan potensi perang terbuka di perairan China Selatan. Apalagi akhir-akhir ini, Amerika Serikat juga turut memanaskan Laut China Selatan.

“Jika terjadi perang terbuka, maka yang akan mengalami imbas dan kerugian besar adalah negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Tidak ada perang yang berakhir indah, baik bagi yang menang maupun kalah,” ungkap Syarief.

Kata dia, Indonesia harus terus mendorong otoritas keamanan untuk melakukan pengawasan intensif di perairan Natuna. Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan TNI Angkatan Laut perlu meningkatkan sistem pertahanan laut dan udara di Perairan Natuna Utara.

Apalagi beberapa waktu terakhir, terdapat nelayan-nelayan China yang dijaga kapal bersenjata China memasuki Natuna Utara tanpa seizin pemerintah.

“Pemerintah harus memperkuat TNI, baik dari segi anggaran maupun alutsista agar mampu memberi daya gertak kepada negara yang memasuki perairan Indonesia,” ungkap Syarief.

Ia juga mendorong agar Pemerintah Indonesia menggiatkan peningkatan kapasitas nelayan dan pembudidaya ikan hingga mencapai tingkat kesejahteraan yang diharapkan di Perairan Natuna Utara.

Lalu mendorong agar pemerintah mengawal nelayan-nelayan Indonesia yang berada di Natuna Utara. Langkah ini akan menguatkan posisi Indonesia sebagai negara yang memiliki ZEE di Perairan Natuna Utara.

“Penyelesaian masalah di Laut China Selatan yang berimbas pada Natuna Utara tidak boleh dilihat hanya dari satu sisi. Penyelesaian masalah ini berhubungan dengan politik, hukum, hubungan luar negeri, sampai ekonomi dan pembangunan di wilayah yang sering dipersengketakan,” ujarnya.

“Pemerintah harus mengedepankan diplomasi dengan semangat million friends and zero enemy dan tetap memperkuat militer di Perairan Natuna Utara. Mari jaga Natuna Utara, jaga Laut Indonesia,” tutup Syarief.(/lk/)

Komentar