JurnalPatroliNews – Saat serangan covid-19 menggila, bukan hanya berdampak terhadap kebiasaan sosial, tetapi berpengaruh pula terhadap kebiasaan sholat subuh di mesjid, setidaknya yang hamba alami.
Dari segi sosial, kehadiran covid-19 sempat memporakporandakan jalinan sosial. Manusia tidak boleh berkumpul, jika pun ada pengecualian, hanya boleh beberapa orang saja. Itupun jarak
antara orang dibatasi.
Kantor pun banyak yang tutup. Kalau pun ada aktivitas, lebih banyak work from home (WFh) atawa bekerja dari rumah.
Proses belajar mengajar tidak lagi di kelas, melalainkan melalui zoom, atau online via HP. Banyak anak yang sudah mulai bersekolah selama sekitar dua tahun, tapi tak pernah punya teman sama sekali, karena memang tak pernah berkumpul layaknya sekolah normal.
Untuk melawan virus, kita dianjurkan divaksin. Dua kali vaksin dan dua kali booster. Mereka yang tidak vaksin tidak boleh masuk mall, naik peswat terbang atau kereta api.
Sampai sekarang jika kita masuk stasion dan naik kereta MRT, masih diwajibkan pakai masker. Petugas masih sering menegur yang tidak memakai masker.
Demikian puks di MRT masih tetap tak boleh bicara sama sekali, termasuk memakai HP. (Banyak yang menggugat kebijakan ini, karena dimana-mana sudah boleh tak memakai masker, termasuk di pesawat udara, kenapa di MRT masih menerapkan peraturan yang berbeda?)
Begitu juga jika mau ketemu pejabat tinggi di kantor, kala itu, harus lebih dulu PCR atau setidaknya antigenen, maksimal berlaku 2X 24 jam sebelumnya.
Munculah peradaban baru. Manusia dimana-mana memakai masker. Sementara dalam hubungan sesama manusia tak ada lagi kebiasan salaman saat berdua.
Industri kesehatan bermunculan dimana-mana. Apalagi pada awal-awal muncul covid-19, untuk tes PCR mencapai harga Rp 1,5 juta. Sedangkan tesn atigen sekitaran Rp 700 ribu.
Dapat dibayangkan berapa coan yang mereka raup dari kasus ini. Belakangan diketahui, modal PCR tak lebih dari Rp 150 ribu, antigen pun tak lebih dari Rp 25 ribu.
Belakangan alat antigen malah dapat dibeli lewat on line, cuma Rp 250 ribu dapat dipakai 50 orang. Makanya terakhir-terakhir harga tes PCR cuma Rp 250 ribu dan atigen Rp 90 ribu.
Kiwari industri ini sudah hancur kembali sejak tak ada lagi pembatasan sosial.
Industri yang ikut berkembang pada masa pandemi covid-19 kuliner rumahan.
Sementara restoran bertumbangan karena pembatasan sosial dan orang enggan keluar, industri kuliner rumahan menjamur. Pemesanan melalui online melonjak. Banyak yang sempat “cuti” dari pekerjaannya untuk membantu isteri menangani pesanan kuliner (kini industri ini juga sebagian besar sudah tutup seiring tata sosial yang mulai normal).
Perabadan baru terjad i dalam proses pemakaman sebelumnya. Para penderita covid-19 dimakamkan di pemakaman khusus para penderita covid. Itu pun kalau meninggal di rumah sakit, jenazahnya harus dibawa langsung dari rumah sakit ke kuburan.
Petinya pun masih dibungkus plastik pula. Ketika di kubur, keluarga harus berada dalam jarak jauh dari liang lahat sehingga keluarga tidak dapat menyaksikan, apalagi masuk, ke rumah peristirahatan terakhirnya.
Baju yang dipakainpara pekerja untuk upacara pemakaman lantas dibakar. Maksudnya supaya tidak menularkan penyakit.
Keadaan tak berbeda terjadi pada sholat subuh di menjid. Ketika mesjid masih baru tutup, tak ada jemaah yang datang. Cuma pengyrys mesjid saja yang betugas di tempat ibadah itu. Ini berlangsung sekitar 1,5 – 2 tahunan. Mesjid sejak subuh melompong.
Manakala pembatasa sosial mulai dikurangi, sedikit demi sedikit kemaah mulai datang lagi ke mesjid, termasuk sholat subuh di mesjid. Jemaah sebagian besar datang masih memamakai masker. Jarak antara jemaah juga sengaja di renggangkan.
Selama serangan covif-19, baik priode delta maupun omicrom, terus terang saja hamba tidak ke mesjid. Bukan hanya tidak sholat subuh di mesjid, tapi juga sama sekali tidak sholat lainnnya di mesjid. Baik ketika covid-19 masih era delta maupun era omocron saya sholat di rumah saja.
Kalau sholat jumat, hamba dan anggota keluarga membentuk jemaah sendiri di rumah. Belakangan sesudah ada pelonggaran pembatasan sosial, lantaran suara mesjid sampai dengan jelas ke rumah dan mesjid terlihat dari rumah, kami sholat jumat di rumah tapi mengikuti sholat dari mesjid. Dalam keadan darurat, soal sah tidaknya sholat semacam itu, kami serahkan kepada Sang Pencipta.
Sebelum pandemi covid-19 hadir, tak begitu banyak “ritual” untuk sholat subuh. Sebaliknya setelah pelonggaran pembatasan sosial dan hamba ini mulai sholat subuh di mesjid lagi, proses sebelum dan sesudah sholat subuh di mesjid lebih “ruwet.”
Berangkat sholat subuh di mesjid awalnha masih selalu memakai baju lengan panjang. Tutup kepala yang sejauh mungkin menutup rambut sampai batas ke kuping.
Ditambah lagi masker, sehingga yang terlihat dan terbuka cuma mata saja. Layaknya seperti ninja saja. Hehehe.
Tak ketinggalan, hamba membawa sajadah sendiri, biar lebih aman.
Komentar