Berdamai Dengan Pandemi, Raja Oleh-Oleh Dari Bali Asal Buleleng Ini Beralih Jadi Petani

JurnalPatroliNews Denpasar – Bagi para pelancong ke Bali, nama pasar oleh-oleh Krisna tentunya sudah tak asing lagi. Outletnya gampang ditemui di sejumlah lokasi wisata. Pun ada pula yang beroperasi 24 jam di dekat Bandara untuk membantu mereka yang terburu-buru mengejar pesawat.

I Gusti Ngurah Anom adalah tokoh yang berada di balik kesuksesan itu. Sampa tahun 2019 menjelang pandemi, dia sedang giat-giatnya mengembangkan usana dengan membuat 3 outlet baru dalam kurun waktu 10 bulan.

Sebelum pandemi, PT Krisna Group tercatat sebagai perusahaan yang memiliki karyawan hingga 2.500 orang dan penyumbang pembayaran pajak paling tinggi di Bali. Sebanyak 475 UMKM berada di bawah naungan PT Krisna Group, 90 persen merupakan UMKM lokal, dan 10 persen berasal dari luar Bali. Dalam sebulan, omset yang dihasilkan oleh PT Krisna Group mencapai puluhan miliar rupiah.

Pandemi yang memukul pariwisata Bali, otomatis menghempas usaha ini. Ia bahkan merumahkan 2.000 orang karyawannya.

“Benar-benar sedih dan stress,” ungkapnya saat bicara dalam acara ‘Agro Learning Center’, pekan lalu.

Dalam kesedihan itu, dia ingin beristirahat dengan pulang kampung ke Buleleng, Bali Utara. Namun kemudian, Ia malahan melirik kembali lahan-lahan tak produktif yang selama ini tak dimanfaatkan.

Ia turun tangan untuk mengecek lahan yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian atau dijual untuk menyambung hidup.

“Sebelum memutuskan untuk bertani, saya sempat dibully, apa mungkin bisa jadi petani. Tapi saya tak mau terjebak disana untuk memulai usaha apapun,” ujar Ajik Krisna sapaan akrab Gusti Ngurah Anom kelahiran Desa Tangguwisia, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng ini.

Bersama 12 orang tim dan 12 petani, Ia mulai menggarap 23 hektare lahan yang berada di kawasan Desa Pengulon, sebelah barat Pelabuhan Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng.

Lahan ini mudah dijangkau dan berada di pinggir pantai, sehingga sangat cocok ditanami komoditi kacang tanah. Kacang tanah memiliki masa panen singkat, bulan enam mulai ditanam dan bulan sembilan sudah bisa dipanen.

“Awalnya lahan ini ditanami mangga, pisang dan kelapa, tetapi setelah dicek PH-nya, ternyata cocok untuk ditanam kacang tanah,” jelasnya.

Permasalahan pasca panen pun mulai muncul. Produksi yang melimpah rupanya tak mampu diserap pasar secara menyeluruh. Alhasil, 50 persen hasil panen dijual dan 50 persen lainnya dibagikan kepada karyawan dan masyarakat secara gratis.

Dari pengalaman ini, Ajik Krisna mulai belajar, bahwa pertanian tidak hanya bisa diselesaikan di hulu, tetapi juga diselesaikan hingga ke hilir. Persoalan pasca panen produksi kacang tanah, akhirnya membuat Ajik Krisna memproduksi oleh oleh Kacang Ajik.

Produksi Kacang Ajik sukses menjadi salah satu oleh-oleh terbaik khas Bali. Bahkan pihaknya berencana menanam kacang tanah di berbagai wilayah di Bali, salah satunya di Jembrana yang akan ditanami 60 hektare. “Kami ingin Bali menjadi pemasok kacang tanah terbaik di Bali,” imbuhnya.

Dengan produk itu serta sejumlah olahan oleh-oleh lainnya, kini Krisna kembali mempekerjakan 2.000 karyawannya. Pihaknya tidak ingin menunggu pandemi benar-benar berakhir tetapi mulai berdamai dengan keadaan.

Ia mengajak generasi muda agar tidak gengsi untuk bertani. Di pihak lain, dia beraharap pemerintah bersedia untuk lebih turun tangan. “Usaha pertanian sangat berat apalagi jika menggarap lahan orang lain. Penjualan Hasil pertanian yang sudah diberikan bibit dan pupuk gratis pun tidak menutupi biaya jasa petani,” katanya. Pemerintah bisa berperan menstabilkan harag produk pertanian, membantu mengatasi masalah permodalan, irigasi, bibit, dan asuransi pertanian.

(*/TiR).-

Komentar