Sejarah: Aksi Simpatik Marinir Tangani Demo 1998 Sempat Dihinggapi Fitnah

JurnalPatroliNews – Jakarta,–  Aksi simpatik Korps Marinir dalam menangani demonstran ternyata sudah dikenal sejak 1998. Berkat deteksi cepat, fitnah keji tidak berhasil memecah belah aparat pada era penuh dinamika kala itu.

Pendiri tabloid DeTik yang dibredel di era Orde Baru dan tabloid DeTak, Eros Djarot dkk, menuliskan catatan soal marinir di buku ‘Misteri Supersemar’.

Jelang lengsernya Presiden Soeharto, aksi demonstrasi marak terjadi. Setiap kali pasukan Angkatan Darat (AD) dan kepolisian mengadang demonstran, yang muncul adalah ketegangan. Namun aktivis pro-reformasi bersimpati terhadap pasukan Marinir Angkatan Laut (AL).

23 Mei 1998, evakuasi ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR nyair berakhir dengan kekerasan. Namun ketika Marinir turun tangan, kekerasan berhasil dihindarkan.

“Teriakan ‘hidup marinir!’ acap kali membahana. Peristiwa serupa juga tampak ketika terjadi gelombang aksi demonstrasi pada saat berlangsung Sidang Istimewa MPR pada bulan November 1998. Pasukan Marinir dipuja-puji sementara pasukan AD ramai dicerca, dicaci-maki, bahkan ditimpuki batu,” tulis Eros Djarot dkk dalam buku itu.

Saat itu, AD memang lekat dengan Orde Baru, rezim yang mencoba ditumbangkan demonstran. AD mendominasi segala lini Orde Baru. Inilah sebabnya demonstran era reformasi cenderung lebih bersimpati bila ditangani oleh Marinir AL.

“Dalam keadaan seperti itulah sikap yang dilakukan oleh prajurit Marinir menemukan makna politik yang tinggi. Nuansa politik yang berkembang di seputar langkah simpatik Marinir tersebut adalah potret dari hubungan yang tidak harmonis antar angkatan di ABRI,” tulis Eros Djarot dkk.

Pasukan Marinir menghadapi demonstran dengan sikap bersahabat. Prajurit baret ungu menangani massa tidak dengan senjata terkokang di depan, tetapi justru disimpan di balik punggung.

Selanjutnya, simak kesaksian Mantan Pangdam Jaya dan Pangkostrad Letjen (Purn) Djaja Suparman soal isu adu domba:

Dalam buku ‘Jejak Kudeta’, Mantan Pangdam Jaya (1998-1999) dan Pangkostrad (1999-2000) Letjen TNI (Purn) Djaja Suparman menuliskan soal pengamanan yang dilakukan Marinir periode Presiden BJ Habibie, tahun 1998-1999.

Pada suasana 13 Mei 1998 usai tragedi penembakan terhadap mahasiswa, Djaja Suparman mengaku dihubungi oleh tokoh berinisial PM yang menyarankan agar marinir saja yang diturunkan sebagai barisan terdepan menghadapi demonstran. Dengan demikian, jatuhnya korban bisa terhindarkan. Djaja Suparman paham, Marinir sudah dianggap sebagai teman demonstran, atau konco dalam bahasa Jawa.

“Dari dialog dengan PM ada yang menarik yaitu saran agar pasukan terdepan diganti dengan satuan Marinir. Mungkin maksudnya baik karena selama menghadapi aksi massa, satuan Marinir dengan baret ungunya tidak pernah diserang oleh massa. Sedangkan dalam berbagai peristiwa bentrokan, Marinir selalu disebut sebagai konco. Jadi, dalam situasi kritis seperti itu bayak pertimbangan dalam mengatur penempatan satuan,” tulis Djaja.

Setahun kemudian, 13 November, pengamanan dikerahkan untuk menghadapi demonstran penolak Sidang Istimewa MPR. Djaja mendapat laporan, pasukan marinir di jembatan Semanggi terdesak oleh demonstran sampai ke Gedung DPR/MPR. Namun Djaja berpandangan Marinir tidaklah terdesak dari Semanggi sampai di depan Gedung DPR/MPR. Djaja berpandangan, justru massa itulah yang digiring menuju pintung Gedung DPR/MPR.

“Bisa jadi para perwira Marinir tidak menyadari tentang hal ini karena mereka hanya menjalankan perintah. Kalaupun ada yang tahu, hanya sebagian kecil, yakni tentang adanya dugaan satuan Marinir ‘main mata’ dengan gerakan massa. Tapi, sebaiknya jangan marah dulu,” kata Djaja sambil bergurau tapi serius.

Ini disampaikannya secara terbuka dalam rapat pimpinan seluruh satuan di bawah kendali Kapolda Metro Jaya, 14 November 1998, atau sehari setelah Sidang Istimewa MPR selesai. Sore itu juga, terjadi alih Komando dan Pengendalian (Kodal) pengamanan Jakarta dari Polda Metro Jaya ke Kodam Jaya.

Pangdam Jaya ini curiga ada yang main mata pada demonstrasi-demonstrasi yang telah dilalui saat itu. Dasar kecurigaannya adalah oknum perwira selalu bersama-sama tokoh gerakan dan aktivis. Dasar kedua, Marinir tidak pernah mau menggunakan helm dan selalu memakai baret. Dan selama itu pulalah Marinir tidak pernah bentrok dan diserang massa.

“Pada waktu ada bentrokan massa di sekitar jembatan layang dekat Hotel Hilton. Menurut catatan dan laporan tim pengawas, satuan Marinir sempat didesak dan diserang massa. Karena kepepet, pasukan itu membuka helm dan memakai baret. Tanpa diduga, aksi massa berhenti dan berteriak, “Konco (teman) … konco (teman) … !!!” Apa artinya itu?” tulis Djaja.

Sidang Istimewa MPR sudah selesai. Namun Djaja menerima informasi akan ada lagi aksi massa. Informasi kedua, ada desas-desus yang menyatakan Marinir akan segera mengambil alih tugas pengamanan dari Polda Metro. Djaja mendeteksi isu-isu ini adalah upaya adu domba untuk memecah belah TNI dengan Polri dalam menangani situasi.

“Pemberitahuan itu tak masalah. Namun, soal lain bakal muncul. Bukan masalah gerakan massa, tapi ada hal yang lebih gawat, yakni adu domba antara Polri dengan Marinir atau antara Polri dengan satuan TNI,” tulisnya.

Isu liar kemudian menyeruak lagi. Dikabarkan, telah terjadi penembakan terhadap anggota Polda Metro Jaya di sekitar jembatan Semanggi. Isu liar menyebutkan, penembaknya adalah anggota Marinir berstatus BKO Polda Metro. Ini jelas merupakan isu mengandung upaya memecah belah.

“Bahwa kejadian adanya korban anggota Polri yang ditembak kemudian diisukan pelakunya anggota Marinir merupakan bagian dari upaya memecah-belah dan mengadu domba antara Polri dan TNI untuk mengalihkan perhatian, sehingga tanggung jawab pengamanan pasca Sidang Istimewa menjadi tidak fokus. Hal ini didukung fakta dengan adanya isu yang berkembang bahwa Marinir mengambil alih pengamanan dari Polri, sehingga bisa menjadi opini publik dan rakyat akan bingung,” tulis Djaja.

[dtk]

Komentar