Adu Kuat Capres Muda vs Tua, Siapa Paling Diminati?

JurnalPatroliNews – Jakarta – Sejumlah lembaga survei telah merilis sejumlah nama yang masuk bursa calon presiden (capres) 2024. Beberapa nama politisi senior muncul dalam bursa pencalonan, sementara sebagian besar lainnya diisi nama-nama politisi muda.

Mayoritas hasil survei masih menempatkan nama politisi senior di peringkat teratas elektabilitas. Namun jajaran nama politisi muda dinilai berpotensi besar memberi ‘kejutan’.

Lembaga Arus Survei Indonesia (ASI), dalam rilisnya pada Selasa (8/6) lalu misalnya masih menempatkan Prabowo Subianto di peringkat teratas untuk capres klaster ketua umum partai.

Ketua Umum Partai Gerindra itu masih mengungguli nama ketua umum partai lain seperti Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat) atau Airlangga Hartarto (Golkar).

Prabowo juga masih unggul dari tingkat elektabilitas secara umum di angka 12,5 persen. Ia unggul dari sejumlah nama baru seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo 11,3 persen dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan 9,3 persen.

Hasil survei Parameter Politik, juga menempatkan Prabowo yang dinilai sebagai politisi senior, unggul dibanding nama-nama baru. Dalam rilis surveinya pada Sabtu (5/6) lalu, Prabowo mengungguli Ganjar dan Anies dengan elektabilitas 18,3 persen.

Direktur Eksekutif ASI, Ali Rif’an mengaku tak heran dengan tingginya elektabilitas Prabowo dalam hasil sejumlah lembaga survei. Menurut dia, hal itu sejurus dengan popularitas Prabowo sebagai politisi senior.

Bahkan, Ali menyebut tingkat popularitas Prabowo hampir menyentuh angka 100 persen. Namun begitu, ia ragu tingkat popularitas itu linier dengan elektabilitas Prabowo yang hanya di kisaran 12,5 persen dari hasil survei ASI.

Ia memperkirakan angka elektabilitas itu tak akan meningkat, sekalipun popularitas Prabowo menyentuh 100 persen.

“Artinya sudah mentok,” kata Ali saat dihubungi JurnalPatroliNews , Kamis (10/6).

Dengan elektabilitas Prabowo yang sulit menanjak, Ali memprediksi sejumlah politisi muda yang popularitasnya rendah, elektabilitasnya masih sangat potensial meningkat. Ia menyebut sejumlah nama seperti Ganjar, Ridwan Kamil, hingga Puan Maharani.

“Nah yang menarik itu yang elektabilitas di bawah 50 persen, belasan persen. Itu ada potensi dapat limpahan suara dari orang yang belum kenal,” katanya.

“Kalau popularitas belum maksimal, ada potensi suara naik. Tapi kalau popularitas sudah mentok 100 persen, atau 99 persen potensi naiknya sangat lambat. Tidak eksponensial,” imbuh Ali.

Pernyataan Ali turut diamini Direktur Eksekutif KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo. Dalam rilis surveinya April lalu, Kunto mendapati mayoritas responden berharap memiliki presiden baru dari kalangan muda yang angkanya mencapai sekitar 53 persen. Hanya sekitar 47 persen responden ingin agar presiden tetap dari politisi senior.

Kunto tak memberi batas usia dalam surveinya untuk membedakan tua dan muda, kecuali hanya berdasarkan persepsi responden.

“Kita nggak ngasih batasan (usia). Cukup persepsi pemilih aja. Siapa yang dipersepsi muda, dan yang dipersepsi tua,” kata dia saat dihubungi JurnalPatroliNews .

Kunto menduga, masyarakat ingin semangat baru dengan memilih presiden muda. Sedangkan, mereka yang masih ingin presiden dari politisi senior mayoritas lantaran dinilai lebih berpengalaman.

Di sisi lain, sejumlah partai saat ini mulai berebut simpati dan suara dari kalangan muda, antara generasi milenial dan Z. Upaya itu dilakukan sebab kelompok generasi tersebut dinilai potensial menjadi basis elektoral.

Kendati demikian, Kunto mencatat, bahwa jumlah persentase pemilih muda atau baru dari kelompok generasi milenial dan Z masih relatif lebih sedikit dibanding generasi tua.

Hingga 2024, kata dia, tingkat persentase pemilih dari generasi milenial ke atas hanya di angka sekitar 40 persen. Sementara sisanya basis elektoral dari kelompok pemilih tua.

Namun ia mengaku tak heran hampir semua partai kini mulai berebut meraup basis elektoral dari kelompok milenial. Menurut Kunto, meraup suara kelompok muda memang memiliki keuntungan sebab notabene mereka adalah pemilih pemula, yang kelak berpotensi menjadi basis elektoral.

“Jadi kalau di awal dia sudah memilih salah satu partai atau salah satu pimpinan partai tertentu, maka dia akan terprogram untuk terus memilih itu,” kata dia.

Faktanya, Kunto belum mendapati sejumlah partai yang cukup berhasil menarik simpati kelompok milenial atau Z.

Selain upaya partai politik tak maksimal, kelompok pemilih muda tersebut tak bisa diseragamkan.

Lagipula, menurut Kunto, pengelompokan pemilih berdasarkan usia adalah cara usang. Dalam kasus karakteristik pemilih muda, katanya, mereka memiliki latar belakang berbeda sehingga sulit untuk menyamaratakan.

Terlebih, parpol juga tak mau ambil risiko dengan mengambil strategi lewat sejumlah isu-isu strategis seperti politik, HAM, dan lingkungan yang belakangan menjadi perhatian generasi milenial.

“Menurut saya parpol-parpol ini masih bermain gimik. Jadi seakan-akan muda bisa dideketin dengan artis doang. Influencer doang,” katanya.

Milenial Apolitis

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Adi Prayitno menilai sulit memetakan basis elektoral kendati sejumlah nama telah masuk dalam bursa capres 2024.

Menurut Adi, semua nama yang telah masuk dalam bursa capres memiliki basis pemilih mereka sendiri, tak terkecuali dari kelompok milenial.

Peta pemilih, menurutnya, baru bisa terlihat jika dari beberapa nama tersebut telah mengerucut menjadi dua atau tiga nama.

“Nanti akan kelihatan siapa yang paling kuat sebaran pemilih di kalangan muda atau di kalangan tua,” kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu.

Hingga saat ini, kata Adi, sebagian besar pemilih, termasuk pemilih muda, masih memberikan suara berdasarkan tingkat popularitas atau elektabilitas capres.

Berbeda dengan Kunto, Adi justru menilai kelompok pemilih muda atau pemula adalah kelompok paling apolitis, sehingga sulit membuat basis elektoral di antara mereka.

“Anak muda banyak yang tidak engage dan tidak peduli dengan urusan politik. Anak muda itu lebih peduli terhadap urusan entertain, kesenian, kebudayaan, yang cukup lekat debgan kehidupan mereka,” kata dia.

“Jadi sekalipun jumlah anak muda signifikan, tidak automatically mereka ini peduli terhadap persoalan politik,” imbuh Adi.

Komentar