Andaikan Joko Widodo Jadi Capres Lagi, Elektabilitas Sudah Rendah

JurnalPatroliNews – Andaikan Presiden Joko Widodo menjadi calon presiden (capres) lagi, elektabilitas tidak lagi seperti dulu.

Begitu hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Desember 2022.

Survei itu menunjukkan tingkat keterpilihan Jokowi hanya sekitar 15,5 persen dalam pertanyaan top of mind pemilihan presiden.

Penjelasan itu disampaikan Pendiri SMRC, Prof. Saiful Mujani, dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ bertajuk ’Peluang Jokowi Kalau Jadi Presiden lagi’, Kamis (5/1/2023).

Menurut Saiful, orang yang punya pikiran agar Jokowi kembali maju dalam Pilpres 2024 setelah dua kali jadi presiden, di benaknya ada keyakinan bahwa Jokowi bakal terpilih kembali karena tingkat kepuasan Jokowi cukup tinggi, yakni sekitar 74,2 persen pada survei Desember 2022.

SMRC memiliki serangkaian survei tentang preferensi publik mengenai calon-calon presiden.

Dalam pertanyaan top of mind atau jawaban terbuka dan spontan, pada Mei 2021, ada 27,6 persen publik menyebutkan nama Joko Widodo.

Saiful melihat angka 27,6 persen tersebut terlalu rendah untuk seorang petahana yang sudah dua kali menjabat.

Pada survei-survei berikutnya dukungan publik pada Jokowi secara konsisten mengalami penurunan.

Pada Desember 2022, hanya 15,5 persen yang menyebut nama Jokowi dalam pertanyaan top of mind mengenai capres.

Saiful melihat, dari data mengenai pilihan presiden top of mind, suara Jokowi tidak meyakinkan.

Jokowi, kata dia, seharusnya unggul mendekati 50 persen sebagai orang yang sudah dua kali menjadi presiden dan memiliki tingkat kepuasan publik di atas 70 persen.

“Terlalu jauh gap antara 74,2 persen yang puas (dengan kinerja Jokowi) dengan yang memilih hanya sekitar 15,5 persen,” jelas Saiful.

Dalam simulasi semi terbuka dengan daftar nama dan responden diberi kesempatan menyebut nama lain di luar daftar nama tersebut, hanya 14,7 persen yang memilih Jokowi, turun dari 28 persen di Mei 2021.

Baik dalam pertanyaan top of mind maupun semi terbuka, dukungan pada Jokowi tidak banyak mengalami perbedaan.

“Karena itu, kalau menginginkan Pak Jokowi maju lagi untuk ketiga kalinya dalam pilpres dengan asumsi bahwa dia pasti akan dipilih, datanya tidak ada, datanya tidak menunjukkan itu,” beber Saiful.

Lemahnya dukungan ini, lanjut Saiful, mungkin disebabkan oleh pikiran publik yang memang menganggap Jokowi tidak akan maju dalam Pilpres.

Publik sudah berpikir tentang tokoh lain seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto.

“Sudah ada orang lain yang diharapkan bisa menggantikan Pak Jokowi,” lanjut Saiful.

Menurut Saiful, pemikiran melanjutkan kekuasaan Jokowi karena dia dinilai bagus adalah normal.

Namun hal ini akan membuat tidak ada suksesi kepemimpinan.

Pemimpin yang dinilai bagus akan terus-menerus dipertahankan.

”Ini masalah,” ujar Saiful.

Saiful mencontohkan beberapa presiden Amerika Serikat yang populer dan mendapatkan tingkat kepuasan publik yang tinggi seperti Bill Clinton, Obama, dan Ronald Reagen, juga diminta untuk menambah periode kepemimpinan.

Namun, mereka menolak penambahan periode tersebut karena alasan konstitusi dan pemikiran normatif pembatasan kekuasaan sebagai dasar mereka bernegara.

Saiful menyatakan ketika para pendukung terdekat Jokowi mendorong maju kembali dalam pemilihan presiden untuk ketiga kalinya, seharusnya Jokowi meniru Barack Obama, Ronald Reagan, atau Bill Clinton yang menyatakan “tidak bisa, saya tidak akan melakukan itu, jangan sekali-sekali anda berpikir demikian”.

Komentar