Catatan Diskusi “Etos Qurban dan Kepemimpinan Nasional” Diselenggarakan oleh Paramadina Graduate School of Islamic Studies

Di akhir diskusi, Dr. M. Subhi-Ibrahim, Direktur PGSI menambahkan bahwa, qurban punya pesan sosial yang kuat. Penggantian Nabi Ismail sebagai objek qurban dengan domba memiliki pesan yang sangat penting, yakni pesan kemanusiaan.

Bagi Subhi-Ibrahim, kemanusiaan tidak berseberangan dengan ketuhanan. “Allah tidak mengorbankan Ismail. Allah tidak menjadikan manusia sebagai sarana penyembahan dan persembahan. Allah tidak mengajarkan bahwa untuk mendekati-Nya dengan mengorbankan manusia dan kemanusiaan. Allah menginginkan manusia menjadi tujuan pada dirinya sendiri.” Paparnya.

Agama diturunkan bukan untuk Allah. Ia tidak kekurangan kemahaan-Nya walau tidak satu orang pun yang menyembah-Nya. Allah Maha Segalanya. Agama adalah untuk manusia dan memanusiakan manusia. Jika ada tafsir agama yang mempertentangkan Allah dan manusia, maka tafsir tersebut pasti manipulatif.

“Tafsir yang menyembunyikan kepentingan diri, kekuasaan, motif ekonomi dan lain-lain. Tafsir yang wajib ditolak.  Alih-alih menghadap-hadapkan Allah VS manusia atau  agama VS kemanusiaan, Allah mengajarkan bahwa pendekatan diri kepada-Nya digapai melalui mendekatkan diri kepada manusia yang lemah (dhaif) dan dilemahkan (mustadhafin).” Sambungnya.

Inilah esensi ritus qurban. Pendekatan diri kepada Tuhan mensyaratkan mendekat kepada yang berkekurangan, yang kurang beruntung. Bila ibadah puasa mengajak si kaya merasakan laparnya si miskin, qurban mengajak si miskin merasakan kenyang si kaya. Berqurban berarti mendekatkan diri dengan mengakrabkan diri dengan hamba-hamba-Nya yang lemah, tidak berdaya. (QS. Al-Hajj [22]:28).

“Dalam kepemimpinan, kemanusiaan tidak pernah boleh diabaikan. Pemimpin nasional harus memberi jaminan penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan sekaligus mendorong solidaritas sosial.” Pungkasnya.    

Komentar