Ruly juga mengonfirmasi Brigjen Ahmad Nurwakhid, sesuai data yang diketahuinya, BNPT mengkategori yang menjadi korban dari paparan Radikalisme dari Kelompok Teroris adalah warga negara yang berusia 17-24 tahun.
“Sarana yang paling efektif adalah medsos, karena anak-anak muda itu tidak berpikir kritis. Jadi biasanya mereka yang terpapar itu adalah anak-anak muda yang tidak berpikir kritis. Hanya menyerap, tidak mengolah lagi dari pola pikirnya.” Imbuh Ruly menjelaskan.
Salah satu penyebabnya adalah, kebiasaan anak muda sekarang, atau generasi millenial ini sangat kurang pemahaman literasinya. Mereka rata-rata malas membaca buku, karena sangat mudah mencari informasi, lewat google misalnya. Jadi secara rata-rata, kemampuan berpikir kritis mereka kurang. Pola seperti inilah yang menjadi sasaran empuk para Aktor Perang Asimetris, terkait dengan Radikalisme dalam membentuk teroris-teroris baru.
“Bahkan sekarang ada istilah Ustadz YouTube, yang belajar agama dari YouTube, belajar dari YouTube sudah jadi Ustadz, ini sangat bahaya. Semua ilmu ada di YouTube, tapi masalahnya apakah ilmu itu benar? Apakah secara metodologi benar?” Tegas Ruly lagi.
Kekhawatiran Ruly memang beralasan, karena sekarang banyak orang yang belajar agama dari YouTube, bahkan sudah berani mengklaim dirinya Ustadz tanpa pemahaman yang mendalam, jam terbang yang sangat rendah, serta tingkat pemahamanan literasi yang sangat meragukan.
“Ada juga materi-materi yang merusak fixed mindset mereka itu biasanya menggunakan konsep propaganda yang umumnya menggunakan narasi-narasi yang sifatnya ketidak adilan, kemudian dari kasus yang ekstrim itu jihad, atau dibawa kedalam narasi kezaliman pemerintah, thagut. Simbol-simbol itulah yang sangat mudah dibentuk dan dimasukan ke dalam pola pikir anak-anak muda yang sangat rentan, karena mereka tidak mempunyai kemampuan yang analitis. Mereka tidak kritis berpikirnya. Ini yang bahaya.” Jelas Ruly.
Ruly menjelaskan, bahwa pola pikir yang dibuat para aktor radikalisme inilah yang harus dibuat kontranya, sehingga kita mampu mengantisipasi dan menggunakan konsep yang mereka gunakan secara radikal, justru untuk membangun pola pikir agar mereka menjadi pemuda yang cinta kepada sesama manusia, cinta kepada bangsa dan negaranya, serta meyakini Pancasila adalah ideologinya, melalui metoda menanamkan keyakinan tersebut ke dalam susunan otak agar menetap di dalam limbicnya. Bukan di Reptilian Brain seperti yang dilakukan oleh para Radikalis dan Teroris.
“Alangkah ideal, justru ketika orang asing melihat Pancasila itu merupakan ancaman buat mereka.” Pungkas Ruly.
Hal senada diungkapkan dua narasumber ini sebagai closing statement yang menjadi akhir dan penutup Webinar yang menarik ini, yaitu; Perang Asimetris yang terus akan berlangsung ini adalah musuh kita bersama, terutama bagi bangsa Indonesia. Untuk itu menjadi tanggung jawab bersama yang melibatkan seluruh bangsa. Kita harus segara merubah pola pikir kita, aktif dalam mendiseminasikan pemahaman Perang Asimteris khususnya untuk anak muda melalui medsos, dan membuat kontra dari para aktor yang sudah lama bergerak melalu medsos, kemudian memperjuangkan legalitas atau aturan hukum negara terkait Radikalisme dan Terorisme, sehingga menjamin Ketahanan Nasional yang prima, ulet dan tangguh, serta mampu memberantas semua ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Komentar