Filep Wamafma: Mampukah Ras Melanesia Dicalonkan Menjadi Calon Presiden Tahun 2024?

Kedua, peran partai politik dalam membesarkan tokoh tertentu, biasanya hanya berpusat pada tokoh-tokoh publik di wilayah Jawa. Hal ini menyebabkan tokoh-tokoh dari Ras Melanesia hanya sebatas mensukseskan figur-figur politik yang berkiprah dan dikenal di wilayah Jawa.

Ketiga, sadar atau tidak, asumsi publik di Indonesia masih mengunderestimate kemampuan tokoh-tokoh dari rumpun Melanesia. Menurutnya, dalam tataran tertentu, hal ini ikut menumbuhkan benih diskriminasi dan rasisme. Watak rumpun Melanesia yang keras, seringkali dianggap kurang pas sebagai pemimpin NKRI.

Di antara politik identitas itu, Ras Melanesia belum punya tokoh besar yang mampu mempersatukan semua orang dari hulu sampai hilir, dari gunung sampai pantai, dari hutan sampai perkotaan. Kalaupun ada, biasanya nasib tokoh ini tidak lama. Ketiadaan tokoh ini menyebabkan masyarakat rumpun Melanesia hanya mampu ikut memilih saja tanpa mampu menampilkan putra-putri terbaiknya untuk dipilih.

“Semua persoalan di atas seharusnya memberikan inspirasi bagi anak-anak ras Ras Melanesia untuk mulai bertanya pada diri sendiri, kapankah Ras Melanesia menjadi presiden RI?,” ujarnya.

Menurutnya, inspirasi ini memberi motivasi agar peta politik masyarakat mampu melahirkan, membesarkan, dan memberi jalan luas bagi tokoh publik dari rumpun Melanesia sehingga diakui di kancah nasional. Sudah saatnya ruang-ruang politik Ras Melanesia bersatu, membawa nama-nama yang bisa bersaing di khazanah politik Indonesia.

Keterpecahan politik yang disebabkan oleh ambisi pribadi maupun kelompok, seringkali menghambat lahirnya tokoh politik dari Ras Melanesia. Dengan kata lain, perjuangan politik Ras Melanesia masih sangat diaspora, menyebar tanpa koordinasi. Bila hal ini tidak dilakukan, maka sampai kapanpun Ras Melanesia tidak bisa menjadi presiden di Indonesia. 

Dalam alur yang sama, peran media pun sangat dibutuhkan dalam membesarkan tokoh politik dari Ras Melanesia. Bila media-media mainstream nasional masih hanya berfokua pada publik figur di wilayah Jawa, maka kesempatan bagi tokoh publik rumpun Melanesia semakin meredup. 

“Jadi mau tidak mau, hanya Orang Melenesia sendirilah yang bisa menempatkan dirinya sendiri di bentara politik Indonesia,” pungkas Filep Wamafma.

Komentar