Jokowi Minta Harga Obat RI Turun, BPOM Usulkan Solusi Efektif

JurnalPatroliNews – Jakarta – Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar mengungkapkan strategi untuk menurunkan harga obat di Indonesia setelah adanya instruksi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengkritik tingginya harga obat di dalam negeri.

Menurut Taruna, harga obat di Indonesia bisa mencapai empat kali lipat atau 400% lebih mahal dibandingkan dengan negara lain.

“Beliau (Jokowi) menginstruksikan agar harga obat dapat dikontrol, setidaknya setara dengan harga generik atau obat di negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, atau Singapura,” ujar Taruna setelah pertemuan dengan Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Selasa (20/8/2024).

Taruna menjelaskan bahwa untuk menanggulangi masalah ini, BPOM akan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perdagangan. Salah satu langkah yang diusulkan adalah penetapan harga eceran tertinggi saat izin edar obat diberikan.

“Kita akan menentukan harga eceran tertinggi berdasarkan modal produksi saat izin keluar. Meskipun bukan kapasitas BPOM untuk menetapkan harga, kami akan bekerja sama dengan Kemenkes dan Kemendag untuk menentukan harga tertinggi,” tambahnya.

Selain itu, Taruna menyoroti bahwa salah satu faktor penyebab tingginya harga obat adalah biaya promosi dan iklan. Untuk menekan harga, BPOM akan mendorong perusahaan farmasi agar tidak mengiklankan obat secara berlebihan. “Dengan mengurangi biaya promosi, diharapkan harga obat dapat turun,” jelasnya.

Masalah lainnya yang turut mempengaruhi harga obat adalah ketergantungan pada bahan baku impor. Taruna mengungkapkan bahwa sekitar 80% – 90% bahan baku obat di Indonesia masih diimpor, yang dapat mempengaruhi harga dasar obat.

“Bahan baku obat impor harganya dapat naik tergantung pemasok, dan ini berdampak pada harga jual obat di dalam negeri,” ucapnya.

Sebagai contoh, Taruna menyebutkan bahan baku dasar seperti natrium klorida (garam farmasi). Kebutuhan nasional mencapai 4,5 – 4,6 juta ton, namun produksi dalam negeri hanya sekitar 1,5 juta ton, sehingga kekurangan tersebut harus dipenuhi melalui impor.

“Masih ada kekurangan sekitar 70%, meskipun kita memiliki potensi produksi dalam negeri. Kami akan membahas masalah ini secara lintas sektoral,” tutupnya.

Komentar