Awas! Industri Tekstil RI Terancam Kiamat, Bos Pengusaha Usulkan 3 Langkah Penyelamatan

JurnalPatroliNews– Jakarta – Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia kini berada di ambang kehancuran. Pemerintah diminta untuk segera bertindak untuk mengatasi tekanan beruntun yang tengah menghantam sektor vital ini.

Jika tidak, ancaman Indonesia berubah menjadi negara pengimpor TPT yang bergantung pada negara lain bisa menjadi kenyataan.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Impor (GPEI), Benny Soetrisno, yang juga merupakan pengusaha di sektor TPT, mengusulkan tiga langkah strategis yang dianggap penting untuk mencegah keruntuhan industri tekstil nasional yang kini semakin meluas.

Industri tekstil yang tumbang tidak lagi terbatas di sektor hilir, tetapi kini sudah merembet hingga pabrik-pabrik di hulu.

Berdasarkan data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), hingga September 2024, telah tercatat 15.114 pekerja di industri TPT yang menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). PHK ini terjadi di berbagai jenis pabrik, dari yang memproduksi kain hingga bahan baku tekstil.

Sementara itu, ada juga pabrik-pabrik lain yang terpaksa tutup karena masalah efisiensi atau karena terjerat masalah finansial dan status pailit.

Penyebab Krisis Industri TPT

Menurut Benny Soetrisno, salah satu penyebab utama keruntuhan industri TPT ini adalah membanjirnya barang-barang impor, terutama dari China, baik yang legal maupun ilegal. “Produk hilir dibanjiri impor dari China, baik legal maupun ilegal. Akibatnya, banyak pabrik tekstil hilir yang terpaksa tutup karena tidak lagi membeli bahan baku dari industri hulu di dalam negeri,” ujarnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (5/11/2024).

Jika dibiarkan, Benny mengingatkan bahwa industri TPT di Indonesia bisa punah, dan yang tersisa hanya menjadi konsumen barang impor. Oleh karena itu, dia mengusulkan agar pemerintah segera melakukan evaluasi terhadap semua aturan perdagangan yang berlaku.

Tiga Langkah Penyelamatan yang Diajukan Benny

Benny menyarankan pemerintah untuk segera meninjau ulang kebijakan yang ada, terutama terkait perdagangan internasional.

“Review semua perizinan dan aturan perdagangan yang berbasis sebagai anggota WTO. Kebijakan Free Trade Agreement (FTA) harus diulas kembali, apakah benar-benar menguntungkan kita atau malah merugikan,” ujarnya.

Selain itu, Benny juga mendukung langkah-langkah pemerintah dalam mendukung keberlanjutan perusahaan melalui restrukturisasi utang dan pembaruan mesin.

“Restrukturisasi utang dan pembaruan mesin sangat penting untuk bisa bersaing. Pemerintah juga bisa memberikan insentif bagi industri yang bisa menyerap tenaga kerja serta menghasilkan devisa,” lanjut Benny.

Perbaikan Aturan Impor

Terkait dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, Benny menyatakan aturan tersebut memang perlu diperbaiki.

Kementerian Perindustrian juga menilai bahwa Permendag ini telah menimbulkan dampak negatif bagi sektor manufaktur Indonesia, yang telah mengalami kontraksi selama empat bulan berturut-turut.

Industri TPT RI Runtuh Satu Per Satu

Belum lama ini, kabar buruk terus berdatangan dari sektor TPT. Salah satu pabrik kain dan printing di Margaasih, Bandung, yang berorientasi pasar lokal, terpaksa melakukan PHK terhadap 301 pekerjanya dan berencana menghentikan produksi.

Sementara itu, PT Primissima, perusahaan BUMN tekstil batik yang berbasis di Sleman, Yogyakarta, juga akan memangkas 402 pekerjanya dan menutup pabriknya.

Pada akhir Oktober 2024, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) beserta tiga anak usahanya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang, yang berpotensi mengancam sekitar 20.000 pekerja di perusahaan tersebut. Sritex kini tengah mengajukan kasasi atas keputusan tersebut.

Selain itu, PT Asia Pacific Fibers Tbk (Asia Pacific), produsen benang dan serat yang berlokasi di Karawang, Jawa Barat, memutuskan untuk menghentikan sementara produksinya pada 1 November 2024.

Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), memperingatkan bahwa penutupan pabrik Karawang ini bisa memicu masalah serupa pada pabrik lainnya, termasuk di Kendal, Jawa Tengah.

Jika kondisi ini terus berlanjut, industri tekstil Indonesia, khususnya industri garmen skala kecil, bisa mengalami keruntuhan massal, dengan ribuan pabrik yang terpaksa tutup. Sementara itu, jika hanya menghitung perusahaan besar dan menengah, setidaknya 50 pabrik tekstil nasional telah tutup dalam beberapa tahun terakhir.

Kesimpulan

Benny Soetrisno mengingatkan bahwa tanpa langkah cepat dan tegas dari pemerintah, Indonesia bisa kehilangan industrinya yang dulu jadi tulang punggung ekonomi.

Perbaikan regulasi, restrukturisasi sektor, serta pengawasan yang ketat terhadap impor menjadi langkah-langkah kunci untuk memastikan masa depan industri TPT di Indonesia tetap terjaga.

Komentar