JurnalPatroliNews – Buleleng – Konflik terkait penguasaan tanah negara antara warga Pancasari dan PT Sarana Bali Handara (SBH) kembali mencuat ke permukaan, dengan sorotan tajam mengarah pada Perbekel Pancasari, Wayan Komiarsa. Keputusannya menandatangani permohonan Hak Guna Bangunan (HGB) untuk PT SBH tanpa adanya rencana pembangunan (site plan) yang jelas menuai kontroversi.
“PT Sarana Bali Handara telah mengajukan permohonan, dan kami sudah menandatanganinya,” ujar Wayan Komiarsa saat memberikan keterangan kepada wartawan dalam sesi mediasi di Kantor Desa Pancasari pada Senin (23/12/2024).
Langkah ini mendapat kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk I Gede Budiasa, perwakilan Garda Tipikor Kabupaten Buleleng. Ia menilai tindakan tersebut berpotensi melanggar hukum karena tidak mengacu pada aturan tata ruang dan perencanaan yang sah. “Penandatanganan tanpa rencana tata ruang yang jelas dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang serius,” tegas Budiasa.
Berdasarkan Pasal 26 ayat (4) huruf K Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kepala desa memiliki kewajiban untuk menyelesaikan perselisihan masyarakat di desa. Namun, undang-undang tersebut dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaannya belum memberikan rincian mengenai jenis perselisihan, mekanisme penyelesaian, atau bentuk keputusan yang harus diambil oleh kepala desa.
“Kepala desa seharusnya bertindak sebagai mediator, bukan mengambil langkah yang dapat dianggap mendukung salah satu pihak tanpa landasan hukum yang jelas,” tambah Budiasa. Ia juga menyarankan adanya peraturan pelaksana yang lebih spesifik untuk mengatur tugas dan wewenang kepala desa dalam menyelesaikan konflik.
Budiasa menekankan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi dalam permohonan HGB, terutama terkait site plan. “Penyusunan site plan merupakan syarat utama sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan berbagai regulasi lain, seperti UU Cipta Kerja dan PP Nomor 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung. Site plan harus mencakup tata letak bangunan, area hijau, fasilitas umum, serta kesesuaian dengan RTRW dan RDTR,” paparnya.
Ia mengingatkan bahwa pengabaian persyaratan tersebut dapat menyebabkan cacat administrasi pada permohonan HGB, merugikan masyarakat, dan menimbulkan konsekuensi hukum bagi pihak yang terlibat. Kasus ini juga memunculkan desakan agar pemerintah desa lebih transparan dan berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berdampak besar bagi masyarakat.
“Setiap keputusan harus diambil dengan mematuhi regulasi yang berlaku. Jika tidak, dampaknya tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga dapat menjerat kepala desa secara hukum,” tutup Budiasa.
Komentar