Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, S.H., M.H: Tidak Ada Toleransi Sekecil Apapun Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan

JurnalPatroliNews – Sudah waktunya pemerintah bersama-sama masyarakat mencanangkan zero tolerance terhadap kekerasan, yang artinya tidak ada toleransi sekecil apapun tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga dan masyarakat. Tentunya ini sebagai bagian dari penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

PBB (United Nations) telah membentuk Komisi Kedudukan Perempuan (Commission on the Status of Women) yang bertugas menentukan langkah – langkah, kebijakan serta memantau tindakan PBB bagi kepentingan perempuan. Hal ini dilakukan karena PBB melihat bahwa diskriminasi terhadap perempuan tetap berlangsung di banyak negara, sehingga perlu dikeluarkannya sebuah Deklarasi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Hal tersebut dikatakan Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, S.H., M.H ketika ditemui Jurnalpatrolinews di Kantor Hukum Law Office Advokad & Konsultan Hukum Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, S.H., M.H & Partners di Jalan Gunung Lawu 11 A Denpasar Barat.

Lebih lanjut Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, S.H., M.H mengatakan Undang – Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004 membuat jengah sebagian orang, karena dianggap menyeret persoalan privat ke ranah publik. Tidak dapat dimungkiri, bahwa masalah domestic violence bagi sebagian masyarakat kita masih dipandang sebagai “tabu” internal keluarga, karena tidak layak diungkap ke muka umum. Maka tidak heran, meski UU ini sudah berlaku kasus yang secara resmi ditangani masih bisa dihitung jari.

Tentunya UU ini diharapkan menjadi alat yang mampu menghentikan budaya kekerasan yang ada di masyarakat, justru dari akar agen pengubah kebudayaan, yaitu keluarga. Perempuan sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga, diharapkan mampu mengembangkan nilai – nilai kasih sayang, kesetaraan dan kesederajatan, kepedulian satu sama lain, sehingga mampu menyingkirkan pola – pola tindakan agresif dari anak – anak dan remaja. “Karena pada saatnya, tradisi kekerasan yang diwarisi dari pola pengasuhan dalam keluarga ini, akan berhadapan dengan persoalan hukum negara jika tetap dipelihara,” jelasnya.

 Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, S.H., M.H menjelaskan UU Nomor 23 tahun 2004 mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

“Biasanya kekerasan dalam rumah tangga secara mendasar, meliputi kekerasan fisik, yaitu setiap perbuatan yang menyebabkan kematian, kekerasan psikologis yaitu setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, kehilangan rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada perempuan, kekerasan seksual yaitu setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau di saat korban tidak menghendaki dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara – cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban dan atau menjauhkannya mengisolasi dari kebutuhan seksualnya, kekerasan ekonomi yaitu setiap perbuatan yang membatasi orang perempuan untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang

atau membiarkan korban bekerja untuk di eksploitasi atau menelantarkan anggota keluarga,” jelasnya.

 Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, S.H., M.H menjelaskan KDRT terjadi dalam lingkup personal yang penuh muatan relasi emosi, penyelesaianya tidak segampang kasus – kasus kriminal dalam konteks publik. Suara perempuan atau korban kekerasan domestic cenderung membisu, terdapat beberapa alasan yang menyebabkan tindakan KDRT seperti fenomena gunung es, lebih banyak kasus yang terpendam ketimbang yang terlihat.

“Alasan korban enggan melakukan tindakan hukum ketika terjadi kekerasan, antara lain tindakan kekerasan yang dialami adalah sesuatu yang lumrah terjadi, bahkan dianggap sebagai proses pendidikan yang dilakukan suami terhadap istri, atau orangtua terhadap anak. Anggapan ini dihubungkan dengan kepercayaan bahwa suami adalah pemimpin keluarga, sehingga mempunyai hak mengatur terhadap anggota keluarganya, tentunya anggapan tersebut salah dan harus diluruskan,” kata Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, S.H., M.H.

Komentar