Konstruksi Berfikir TPUA

Oleh: Josef Herman Wenas

Hari ini (Rabu, 16/4) Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) mendatangi kediaman mantan Presiden Jokowi di Solo. Mereka datang mau lihat ijazah asli kesarjanaan Jokowi yang dikeluarkan oleh Fakultas Kehutanan UGM pada 5 November tahun 1985. Massa TPUA ini jugalah yang kemarin (15/4) mendatangi Fakultas Kehutanan UGM di Jogja.

Tentu saja mereka pulang dengan tangan hampa sehabis kedua pertemuan itu, baik sepulang dari UGM di Jogja, apalagi sepulang dari Gang Kutai Utara No 1 di Solo.

Di rumah Jokowi mereka tetap diterima baik-baik. Tidak lama, sekitar 20 menit saja.

Selama 20 menit itu, TPUA diberikan pendidikan politik dan hukum oleh Jokowi. Yaitu, soal prinsip 𝘢𝘤𝘵𝘰𝘳𝘪 𝘪𝘯 𝘤𝘶𝘮𝘣𝘪𝘵 𝘱𝘳𝘰𝘣𝘢𝘵𝘪𝘰, atau 𝘵𝘩𝘦 𝘣𝘶𝘳𝘥𝘦𝘯 𝘰𝘧 𝘱𝘳𝘰𝘰𝘧 𝘳𝘦𝘴𝘵𝘴 𝘸𝘪𝘵𝘩 𝘵𝘩𝘦 𝘱𝘭𝘢𝘪𝘯𝘵𝘪𝘧𝘧.

Siapa yang mendalilkan suatu gugatan, dialah yang harus membuktikannya. Titik.

Tetapi dari wawancara 𝘥𝘰𝘰𝘳-𝘴𝘵𝘰𝘱 oleh Rizal Fadhilah, wakil TPUA di Solo, kita tahu bahwa konstruksi berpikir kelompok ini mengarah ke digital forensik.

Metode forensik itu sendiri umumnya didefinisikan begini: 𝘢 𝘴𝘺𝘴𝘵𝘦𝘮𝘢𝘵𝘪𝘤 𝘢𝘱𝘱𝘳𝘰𝘢𝘤𝘩 𝘶𝘴𝘦𝘥 𝘵𝘰 𝘪𝘯𝘷𝘦𝘴𝘵𝘪𝘨𝘢𝘵𝘦 𝘤𝘳𝘪𝘮𝘦𝘴 𝘰𝘳 𝘰𝘵𝘩𝘦𝘳 𝘪𝘯𝘤𝘪𝘥𝘦𝘯𝘵𝘴, 𝘦𝘯𝘴𝘶𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘵𝘩𝘦 𝘤𝘰𝘭𝘭𝘦𝘤𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘢𝘯𝘥 𝘢𝘯𝘢𝘭𝘺𝘴𝘪𝘴 𝘰𝘧 𝘦𝘷𝘪𝘥𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘢𝘳𝘦 𝘤𝘰𝘯𝘥𝘶𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘭𝘦𝘨𝘢𝘭𝘭𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘦𝘵𝘩𝘪𝘤𝘢𝘭𝘭𝘺.

Dan konstruksi berpikir 𝘢́ 𝘭𝘢 digital forensik ini jelas ngawur. Tapi kita tidak heran, sebab dibalik TPUA ada nama-nama seperti Amien Rais, Eggy Sudjana dan Roy Suryo.

Ngawurnya dimana?

**

Situasi sial ini sering dialami banyak orang: kehilangan dompet. Anggaplah 𝘣𝘢𝘥 𝘭𝘶𝘤𝘬 ini terjadi pada Anda baru-baru ini.

Di dalam dompet Anda yang hilang itu, ada SIM Anda yang diterbitkan 10 tahun lalu. Karena dompet hilang, SIM juga hilang, lalu Anda urus ulang penerbitan SIM yang baru.

Sekarang sudah beres, sudah terselip di dompet baru Anda, mereknya Hermès, buatan Cibaduyut.

Masalahnya: Kebetulan desain, bahan dan teknologi pencetakan SIM oleh Polri sejak terakhir kali Anda memperpanjangnya, sekarang sudah beda, sebagaimana yang ditampilkan pada SIM baru Anda. Dan hal ini adalah kebijakan resmi oleh Polri yang dilaksanakan seluruh Polda di Indonesia.

Pertanyaan: Apakah SIM baru Anda “asli dan valid”?

Tentu saja “asli dan valid”. 𝗔𝘀𝗹𝗶 artinya dikeluarkan oleh instansi yang berwenang (punya otoritas); 𝗩𝗮𝗹𝗶𝗱 artinya bisa dieksekusi untuk berbagai keperluan urusan publik maupun hukum di negeri ini.

Hanya orang bodoh— yang mengadopsi logika digital forensik seperti Roy Suryo— yang mengatakan SIM asli Anda adalah yang telah hilang itu. Sedangkan SIM baru Anda bukan asli. Maka tidak valid.

Alasannya, secara digital forensik— desain, foto, bahan, jenis fonts, tinta, dsb— ternyata beda sama sekali dari aslinya, yang versi 5-10 tahun lalu itu.

**

Orang semacam ini pasti meyakini bila seorang suami telah kehilangan buku nikahnya, dan sekarang punya buku nikah baru dengan isteri yang sama (yang dinikahi 15 tahun lalu), dan buku nikah baru itu juga diterbitkan oleh KUA yang sama, maka isterinya bisa langsung dikawinin oleh siapa pun!

Sebab, sekarang status isterinya menjadi tidak valid, oleh karena buku nikah barunya (padahal diterbitkan oleh KUA yang sama) bukanlah asli. Artinya, tidak sama dengan versi 15 tahun yang lalu!
Dia mengira urusan soal ijazah “asli dan valid” ini semata-mata soal pembuktian digital forensik. Asli-tidaknya, juga sah-tidaknya, suatu dokumen ditentukan oleh metode ini.

Roy Suryo memang dikenal publik sebagai pakar dalam mengindentifikasikan apakah tetek “wanita diduga mirip…” dalam sebuah foto sama dengan tetek artis X yang sedang viral terkait kasus ini atau itu.

Apalagi kalau ada tattoo di sekitar kemaluannya, hal ini pasti tidak akan lolos dari pengamatan cermat dan energetik oleh Roy.
Tetapi digital forensik dalam urusan tetek ini sama sekali tidak 𝘢𝘱𝘱𝘭𝘦𝘴-𝘵𝘰-𝘢𝘱𝘱𝘭𝘦𝘴 dengan urusan suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh sebuah institusi resmi negara.

Tidak ada satu pun instansi negara yang berwenang mengeluarkan foto tetek milik artis X tadi. Ini jelas “Jaka Sembung bawa golok, gak nyambung gob…”

Tidak heran Roy Suryo berpikir bahwa panci-panci milik negara pun boleh dibawa pulang, sebab foto-foto viralnya menenteng perabotan itu kan hanya rekayasa digital. Bukan foto sebenarnya, jadi tidak bisa dibuktikan secara digital forensik. Maka, aman.

Digital forensik, baginya, adalah sumber kebenaran hukum tertinggi di era digital. Bagi Roy Suryo, digital forensik itu 𝘶̈𝘣𝘦𝘳 𝘢𝘭𝘭𝘦𝘴, barangkali mewakili kebenaran Tuhan 𝘢𝘯 𝘴𝘪𝘤𝘩!
Nampaknya konstruksi berpikir ini diamini oleh segenap pendukung TPUA = Tim Pembela Ulama dan Aktivis.

Ada kata “Ulama” juga ya disini?

-JHW

Komentar