Peristiwa krusial Pencabutan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 pada era Reformasi menyoroti ketegangan antara kebenaran sejarah dan manipulasi politik di Indonesia. Ketetapan ini, yang menjadi salah satu penanda dari penggulingan Presiden Soekarno, tidak hanya mencerminkan tragedi politik nasional, tetapi juga menggambarkan bagaimana kekuasaan dapat memutarbalikkan sejarah demi legitimasi. Tuduhan keterlibatan Soekarno dalam G30S/PKI, yang mendasari pencopotan kekuasaannya, telah membekas dalam ingatan kolektif bangsa sebagai salah satu momen paling kelam dan kontroversial. Setelah lebih dari tiga dekade, keputusan untuk mencabut ketetapan ini membuka jalan bagi rehabilitasi nama Bung Karno, namun tidak tanpa kontroversi.
Pencabutan ini seharusnya tidak hanya dipandang sebagai langkah rekonsiliasi, tetapi juga sebagai kesempatan untuk mengkritisi narasi sejarah yang selama ini dibentuk oleh kepentingan politik tertentu. Bagaimana kita menulis ulang sejarah ini? Apakah kita siap mengakui bahwa sejarah Indonesia selama ini telah dipelintir untuk mendukung rezim yang berkuasa? Pencabutan TAP MPRS ini harus menjadi titik tolak bagi bangsa untuk tidak hanya merehabilitasi nama seorang pemimpin, tetapi juga untuk mengkaji ulang sejarah nasional dengan jujur dan kritis. Jika tidak, kita berisiko mengulang kesalahan yang sama: menjadikan sejarah sebagai alat politik yang memecah belah daripada mempersatukan.
Peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 tidak dapat dilihat hanya sebagai peristiwa domestik belaka. Konteks internasional yang melingkupi era Perang Dingin memberi warna kuat dalam dinamika politik Indonesia. Bung Karno, sebagai pemimpin yang mengedepankan Non-Alignment (Netralitas) dengan gerakan-gerakan anti-imperialis serta membangun hubungan dengan blok Timur, membuat posisinya kian disorot oleh Barat, khususnya Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa Barat. Di mata mereka, Soekarno mulai dipandang sebagai ancaman bagi stabilitas politik kawasan Asia Tenggara yang sangat strategis. Dalam sejumlah dokumen yang belakangan terungkap, baik dari CIA maupun arsip-arsip lain, terlihat bahwa G30S/PKI bukan sekadar insiden domestik melainkan sebuah grand design dari upaya untuk menggulingkan Soekarno. Keterlibatan unsur militer, politik internasional, dan media Barat dalam membentuk opini dunia terhadap Soekarno jelas memperlihatkan bagaimana peristiwa ini direncanakan dan digunakan untuk melemahkan otoritasnya. Namun, hingga wafatnya pada 21 Juni 1970, tuduhan keterlibatan Soekarno dalam peristiwa tersebut tidak pernah terbukti secara hukum. Bung Karno tidak pernah menjalani proses pengadilan yang adil, bahkan untuk membersihkan namanya dari tuduhan bahwa ia berada di balik pemberontakan G30S/PKI. Hal ini menjadi ironi besar dalam sejarah Indonesia, di mana seorang pemimpin besar bangsa yang telah berjuang untuk kemerdekaan malah jatuh oleh permainan kekuasaan global yang penuh dengan konspirasi.
Komentar